Oleh : Dr. Noviardi Ferzi
TANYAFAKTA.CO – Cukup mengejutkan seolah menjadi hadiah tahun baru Muharam, Sore, 26 Juni 2025, Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan memisahkan pemilu nasional dengan pemilu daerah atau lokal. MK mengusulkan pemungutan suara nasional dipisah dan diberi jarak paling lama 2 tahun 6 bulan dengan pemilihan tingkat daerah.
Pemilu nasional antara lain pemilihan anggota DPR, DPD, serta presiden dan wakil presiden, sementara pemilu daerah terdiri atas pemilihan anggota DPRD provinsi, DPRD kabupaten/kota, serta kepala dan wakil daerah.
Sejatinya, demokrasi adalah panggung bagi aspirasi rakyat, dan pemilu adalah nadi utamanya. Namun, di Indonesia, “pesta demokrasi” kerap diwarnai dengan kompleksitas yang menguji ketahanan sistem dan partisipasi warga. Kita telah menyaksikan bagaimana pemilu serentak, yang dimaksudkan untuk menyederhanakan siklus politik, justru menimbulkan berbagai persoalan serius, mulai dari kelelahan penyelenggara hingga potensi penurunan kualitas kampanye dan debat publik.
Kini, Mahkamah Konstitusi (MK) hadir dengan putusan fundamental, memisahkan Pemilu Nasional dan Pemilu Lokal mulai tahun 2029, sebuah langkah yang secara mendalam akan menata ulang lanskap demokrasi kita.
Problematika pemilu serentak sebelumnya bukan sekadar isu teknis, melainkan menyentuh inti efektivitas demokrasi. Bayangkan beban kerja Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan jajarannya yang harus mengurus lima surat suara sekaligus, di tengah keterbatasan sumber daya dan waktu. Kelelahan yang dialami petugas Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS), bahkan hingga menimbulkan korban jiwa, adalah indikator paling tragis dari beban yang tak proporsional ini.
Lebih jauh, bagi pemilih, kompleksitas ini bisa memicu kebingungan, bahkan apati. Fokus pada isu-isu substantif nasional seringkali menggeser perhatian pada isu-isu lokal yang tak kalah penting, atau sebaliknya. Seperti yang disoroti oleh beberapa analisis, pemilu serentak kadang membuat pemilihan legislatif “terbengkalai” karena bayangan besar pemilihan presiden.
Di sinilah peran regulasi menjadi krusial. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu adalah landasan hukum yang mengatur segalanya, namun dinamika praktik demokrasi kerap menuntut adaptasi dan revisi.
Putusan MK yang baru-baru ini dikeluarkan adalah bukti konkret dari adaptasi regulasi ini, sebagai respons terhadap permasalahan yang timbul dari implementasi regulasi sebelumnya.
MK, sebagai penjaga konstitusi, tidak hanya menyoroti inefisiensi masa jabatan penyelenggara pemilu yang “tugas inti”-nya hanya sekitar dua tahun dalam siklus serentak, tetapi juga merespons permohonan dari berbagai pihak, termasuk Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), yang telah lama menyuarakan perlunya pemisahan ini. Ini adalah cerminan dari sistem hukum yang terus berdialog dengan realitas sosial dan politiknya.
Sebuah artikel dalam Jurnal Konstitusi, Volume 17, Nomor 4, Desember 2020, misalnya, Rifqie, Jaelani dan Siti Masitoh dalam artikelnya berjudul “Problem Legislasi Pemilu Serentak Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi”, menyoroti bahwa “putusan MK terkait pemilu serentak ini memang menciptakan kebutuhan akan revisi dan penyesuaian regulasi agar sinkronisasi dapat tercapai, bukan hanya secara teknis namun juga filosofis.” Ini menegaskan urgensi adaptasi regulasi setelah putusan MK.
Tinggalkan Balasan