Oleh : Anjar Fadlillah

TANYAFAKTA.CO Dua dekade tersisa menuju momen yang diagung-agungkan: Indonesia Emas 2045. Sebuah visi besar tentang negara maju, adil, dan sejahtera di usia seabad Republik. Tapi di tengah gegap gempita jargon dan narasi optimistik, satu pertanyaan mendasar menggantung di udara: Apakah kita benar-benar sedang menuju ke sana, atau hanya sibuk merias wajah statistik?

Pembangunan masif, pemindahan ibu kota, dan deretan proyek infrastruktur bernilai triliunan rupiah sering diklaim sebagai fondasi emas masa depan. Namun publik bertanya: emas untuk siapa? Ketimpangan sosial masih mencolok, akses pendidikan dan kesehatan yang layak belum menyentuh seluruh pelosok, dan angka kemiskinan yang “menurun” lebih banyak karena penyesuaian definisi, bukan realitas di lapangan.

Baca juga:  Menko Polkam Ajak Peserta P3N Lemhannas Waspadai Ancaman Global dan Dukung Program Unggulan Presiden

Politik nasional pun tak luput dari sorotan. Alih-alih mempersiapkan institusi yang kuat dan demokratis, energi elite tampaknya lebih terfokus pada manuver kekuasaan: perpanjangan masa jabatan, koalisi pragmatis tanpa visi, dan revisi undang-undang yang rawan konflik kepentingan. Janji-janji pemilu terus bergulir, namun yang bertahan justru tradisi pembiaran dan pengaburan tanggung jawab.

Di bidang pendidikan, kita dihadapkan pada generasi muda yang tumbuh dalam era digital, namun sayangnya, seringkali tanpa arah. Kurikulum berubah mengikuti irama politik, bukan kebutuhan zaman. Sementara itu, para siswa dan guru bergulat dengan infrastruktur yang timpang, ketimpangan akses, dan kebijakan yang inkonsisten. Di saat yang sama, sistem pendidikan formal kalah saing dengan budaya instan media sosial.

Baca juga:  Membingkai Potret Visi Muaro Jambi Berbakti, Refleksi Gagasan Politik Bambang Bayu Suseno