TANYAFAKTA.ID Aksi unjuk rasa merupakan bentuk ekspresi demokratis yang penting di Indonesia, memungkinkan masyarakat untuk menyuarakan pendapat dan menuntut perubahan. Hal ini diatur dalam UU Pasal 28E ayat (3) UUD 1945 yang mengatakan bahwa :

“Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat”.

Namun sering kali dalam pemberitaan media, maupun penegak hukum memvonis para pengunjuk rasa melakukan tindakan “anarkis” apabila terjadi kericuhan dalam proses penyampaian pendapat.

Apakah penyebutan istilah “anarkis” itu tepat?

Anarkis sendiri adalah individu yang menganut ideologi anarkisme, sebuah pandangan politik yang menolak struktur otoritas yang dianggap menindas dan mendukung pembebasan individu melalui penghapusan hierarki. Meskipun sering kali disalahpahami sebagai ekstremis atau kekacauan, anarkisme sebenarnya merupakan sebuah ideologi dengan prinsip-prinsip yang mendalam dan sejarah yang kaya.

Dalam artikel ini, kita akan menjelajahi apa itu anarkis, mengapa mereka memilih jalan ini, dan bagaimana mereka menerapkan prinsip-prinsip anarkisme dalam berbagai aspek kehidupan.

Anarkisme, sebagai teori politik dan sosial, memiliki akar yang dalam dalam berbagai tradisi filosofis dan perjuangan sosial. Konsep ini pertama kali dikenal secara luas pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20, meskipun ide-ide anti-otoritarian telah ada jauh sebelumnya.

Baca juga:  Puluhan Masyarakat Unjuk Rasa Tolak AKBP Mat Sanusi Rangkap Jabatan Sebagai Ketum KONI Jambi

Anarkisme berasal dari kata Yunani “anarchos,” yang berarti “tanpa penguasa.” Istilah ini mencerminkan keyakinan dasar bahwa masyarakat dapat berfungsi secara efektif tanpa adanya struktur pemerintahan atau otoritas yang memaksakan kekuasaan atas individu.

Sedangkan anarkis adalah orang-orang yang percaya bahwa struktur otoritas—baik itu pemerintah, monarki, atau sistem hierarkis lainnya—sering kali digunakan untuk menindas dan mengeksploitasi individu. Singkatnya, anarkis meyakini bahwa struktur pemerintahan yang terpusat sering kali menjadi sumber penindasan dan ketidakadilan sosial. Sebagai gantinya, mereka mendukung pembentukan masyarakat yang lebih egaliter, di mana keputusan dibuat secara kolektif dan tanpa paksaan.

Menyingkap lebih dalam mengenai motivasi di balik anarkisme, kita menemukan bahwa banyak anarkis terinspirasi oleh prinsip-prinsip kebebasan individu dan keadilan sosial. Mereka percaya bahwa struktur otoritas tradisional, seperti pemerintah dan sistem kapitalis, cenderung menciptakan ketidakadilan dan kesenjangan.

Bagi anarkis, masalah-masalah ini tidak dapat diselesaikan hanya dengan reformasi atau perubahan di dalam sistem yang ada, tetapi memerlukan perubahan mendalam dalam cara kita memahami dan mengorganisir masyarakat.

Prinsip Dasar Anarkisme

Anarkis sering kali terlibat dalam berbagai bentuk aktivisme, baik itu dalam bentuk protes, pendidikan politik, atau pengorganisasian komunitas. Mereka mungkin berpartisipasi dalam gerakan sosial yang mempromosikan keadilan sosial, hak asasi manusia, dan keberlanjutan lingkungan.

Baca juga:  Cuaca Panas Ekstrem: Kenali Ciri-Ciri dan Cara Mencegah Dehidrasi

Aktivitas ini seringkali mencerminkan prinsip-prinsip dasar anarkisme, seperti desentralisasi kekuasaan dan kerjasama sukarela.

Desentralisasi kekuasaan adalah salah satu prinsip kunci dalam anarkisme. Anarkis percaya bahwa kekuasaan yang terpusat cenderung menimbulkan penindasan dan ketidakadilan. Oleh karena itu, mereka mendorong pembentukan struktur sosial yang lebih terdesentralisasi di mana keputusan dibuat oleh komunitas lokal atau kelompok-kelompok kecil.

Dalam pandangan mereka, ini memungkinkan partisipasi yang lebih luas dan demokratis dalam proses pengambilan keputusan serta mengurangi potensi penyalahgunaan kekuasaan.

Kerjasama sukarela juga merupakan aspek penting dari anarkisme. Anarkis percaya bahwa hubungan sosial seharusnya didasarkan pada persetujuan dan kerjasama sukarela, bukan paksaan atau otoritas. Dalam masyarakat anarkis, individu bekerja sama untuk mencapai tujuan bersama dan membuat keputusan melalui konsensus, tanpa adanya struktur hierarkis yang memaksa atau mengontrol.

Sejarah anarkisme menunjukkan bahwa anarkis telah memainkan peran penting dalam berbagai gerakan sosial dan politik. Salah satu contoh paling terkenal adalah Perang Saudara Spanyol pada tahun 1936-1939, di mana gerakan anarkis memiliki pengaruh signifikan.

Baca juga:  Cara Mengatasi Kulit Kering Akibat AC

Anarkis Spanyol, melalui organisasi seperti Confederación Nacional del Trabajo (CNT) dan Federación Anarquista Ibérica (FAI), terlibat dalam upaya untuk mengorganisir kolektivisasi tanah dan pabrik. Meskipun peran mereka dalam konflik tersebut tidak bertahan lama, pengalaman mereka memberikan wawasan penting tentang bagaimana prinsip-prinsip anarkisme dapat diterapkan dalam situasi politik yang menegangkan.

Salah satu pemikir anarkis awal yang penting adalah Pierre-Joseph Proudhon, seorang filsuf Prancis yang dikenal sebagai salah satu pelopor anarkisme. Dalam karyanya yang terkenal, “What Is Property?” (1840), Proudhon memperkenalkan konsep “kepemilikan adalah pencurian,” yang mengkritik sistem kepemilikan pribadi yang mengarah pada eksploitasi dan ketidakadilan. Proudhon mengusulkan sistem federasi yang berbasis pada asosiasi sukarela dan kooperatif sebagai alternatif terhadap pemerintahan terpusat dan kapitalisme.

Penting juga untuk menyebutkan Mikhail Bakunin, seorang anarkis Rusia yang memberikan kontribusi signifikan terhadap teori anarkis. Bakunin menolak otoritas negara dan struktur hierarkis lainnya, dan mendukung revolusi sosial sebagai cara untuk menggantikan sistem pemerintahan yang ada dengan masyarakat yang lebih egaliter. Dalam pandangannya, revolusi diperlukan untuk membangun masyarakat yang tidak tertekan oleh kekuasaan terpusat dan untuk mendorong kerjasama kolektif.