Oleh : Dr. Noviardi Ferzi
TANYAFAKTA.CO, JAMBI – Target pertumbuhan ekonomi Provinsi Jambi sebesar 5,4 persen pada 2026 dengan kondisi APBD yang justru diproyeksikan defisit sesungguhnya mengandung banyak kontradiksi. Secara teori, pertumbuhan ekonomi yang tinggi hanya bisa dicapai bila ada dukungan fiskal yang kuat, investasi yang meningkat, serta daya beli masyarakat yang terjaga.
Namun, dalam rancangan APBD yang disampaikan, justru terlihat adanya pelemahan pendapatan daerah yang cukup signifikan. Pendapatan hanya ditargetkan Rp3,61 triliun, menurun hampir 21 persen dibandingkan tahun 2025. Penurunan ini sebagian dipicu oleh dinamika regulasi baru, khususnya implementasi UU Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah yang memperketat distribusi transfer pusat ke daerah. Kondisi ini membuat ruang fiskal Jambi semakin terbatas.
Dengan basis pendapatan yang mengecil, sementara belanja tetap dirancang lebih tinggi hingga menimbulkan defisit Rp64,53 miliar, maka kemampuan daerah untuk melakukan pembiayaan pembangunan yang produktif menjadi sangat terbatas.
Defisit anggaran ini, bila ditutup dengan pinjaman, hanya akan menambah beban utang dan kewajiban pembayaran bunga di masa depan, sehingga ruang fiskal makin sempit. Sebaliknya, bila defisit dikompensasi dengan pemotongan belanja modal, maka efek pengganda dari belanja pemerintah terhadap pertumbuhan ekonomi akan hilang. Akibatnya, target pertumbuhan tinggi hanya tinggal angka yang sulit diwujudkan.
Sejarah juga memberikan pelajaran penting. Ekonomi Jambi memang sempat tumbuh 5,13 persen pada 2022, tetapi capaian itu segera melemah menjadi 4,67 persen pada 2023 dan kembali turun ke 4,51 persen pada 2024. Bahkan hingga semester I 2025, pertumbuhan baru 4,78 persen dengan capaian triwulan II sebesar 4,99 persen, masih belum menyentuh 5 persen.
Data ini menunjukkan bahwa meski sesekali Jambi mampu mendekati target tinggi, capaian itu tidak konsisten dari tahun ke tahun. Menetapkan target 5,4 persen di 2026 jelas lebih condong pada optimisme politik daripada proyeksi ekonomi yang realistis.
Kendala struktural semakin memperkuat keraguan. Ekonomi Jambi masih bertumpu pada sektor primer, terutama perkebunan, pertambangan, dan komoditas ekspor yang rentan terhadap fluktuasi harga global. Bila harga sawit atau batu bara jatuh, pertumbuhan akan otomatis terkoreksi.


Tinggalkan Balasan