TANYAFAKTA.CO, JAMBI –  Di balik gemerlap angka produksi dan potensi ekonomi yang begitu besar, tambang batubara di Jambi menyimpan kisah kelam tentang tata kelola sumber daya alam yang jauh dari ideal. Provinsi ini seolah kaya di atas kertas, tapi bocor di lapangan. Di setiap lapisan birokrasi, dari izin tambang, penentuan kuota produksi, hingga pembayaran royalti, terselip jaringan kepentingan yang menggurita dan sulit disentuh. Inilah wajah telanjang mafia tambang batubara — aktor-aktor yang mengeruk kekayaan bumi Jambi tanpa tanggung jawab sosial dan lingkungan yang sepadan.

Jambi memiliki cadangan batubara sekitar 1,68 miliar ton, menjadikannya salah satu daerah penghasil batubara terbesar di Sumatera. Cadangan itu tersebar di Kabupaten Sarolangun, Batanghari, Tebo, dan Bungo, dengan infrastruktur tambang yang terus tumbuh.

Baca juga:  Menggapai Masa Depan Yang Gemilang : 5 Kunci Penting Meraih Sukses Bagi Pelajar

Data Dinas ESDM mencatat 94 perusahaan tambang batubara masih aktif, dan 51 di antaranya memegang izin resmi (IUP Operasi Produksi dan PKP2B). Namun, di balik legalitas administratif itu, banyak perusahaan yang beroperasi tanpa memenuhi kewajiban reklamasi lahan, tanpa laporan transparan soal produksi, bahkan tanpa kontribusi pajak dan royalti yang semestinya.

Masalah terbesar justru terjadi pada hulu: proses penerbitan izin tambang (IUP). Selama bertahun-tahun, penerbitan izin dilakukan secara tumpang tindih antara pemerintah provinsi dan pusat. Banyak izin yang diberikan tanpa verifikasi lingkungan yang memadai, sementara tumpang tindih lahan antara perusahaan besar dan tambang rakyat terus terjadi.

Celah hukum ini dimanfaatkan oleh oknum pejabat dan pengusaha untuk melakukan praktik jual-beli izin atau “izin terbang”—perusahaan yang hanya memegang dokumen, tapi tidak pernah benar-benar menambang. IUP semacam itu sering dijadikan alat spekulasi, dijual kembali ke investor lain, atau digunakan sebagai dasar penguasaan lahan di luar mekanisme resmi.

Baca juga:  Mengawal Investasi, Bukan Mengabaikan Dampak Lingkungan

Kekacauan di level izin berlanjut ke tahap produksi. Target produksi batubara Jambi tahun 2024 ditetapkan sebesar 38 juta ton, tetapi realisasinya hanya sekitar 19 juta ton atau separuh dari target. Penurunan ini bukan sekadar soal cuaca atau logistik, melainkan juga adanya indikasi manipulasi data produksi.

Banyak perusahaan diduga melaporkan produksi lebih rendah dari realitas lapangan untuk mengurangi beban royalti. Bahkan, sebagian batubara yang keluar dari tambang tidak tercatat secara resmi karena jalur distribusi ilegal yang melibatkan pengusaha lokal dan oknum aparat di lapangan.

Jalur transportasi menjadi simpul penting dalam jaringan mafia tambang. Jalur darat yang menghubungkan area tambang ke pelabuhan di Sungai Batanghari seringkali menjadi arena konflik. Truk-truk batubara berkapasitas besar melintas di jalan provinsi dan kabupaten yang tidak didesain untuk beban berat, menyebabkan kerusakan parah dan kecelakaan berulang. Ketika masyarakat menuntut solusi, pemerintah daerah kerap terjepit di antara tekanan sosial dan tekanan politik dari kelompok usaha tambang.

Baca juga:  Audiensi Pemprov Jambi dengan Bappenas Hasilkan Komitmen Pembentukan Tim Asistensi