TANYAFAKTA.CO – Pandemi Covid-19 telah membawa perubahan besar dalam banyak aspek kehidupan, termasuk pendidikan tinggi. Mahasiswa, yang seharusnya menjadi agen perubahan dan pendorong kemajuan sosial, kini sering kali tampak kehilangan arah. Banyak dari mereka berperilaku lebih mirip siswa di sekolah menengah, terjebak dalam rutinitas dan fokus pada pencapaian akademis semata, tanpa memahami peran vital mereka dalam konteks sosial yang lebih luas. Ironisnya, di saat tantangan global semakin mendesak, pergeseran ini justru menunjukkan bahwa mahasiswa pasca-Covid tidak lagi berfungsi sebagai pendorong perubahan, melainkan terjebak dalam sikap apatis yang mencolok.
Pertama-tama, kita perlu memahami bahwa mahasiswa seharusnya memiliki kedudukan unik dalam masyarakat. Mereka diharapkan menjadi pemikir kritis, aktivis sosial, dan inovator yang mampu membawa gagasan baru ke dalam ranah publik. Namun, banyak mahasiswa pasca-Covid yang tampaknya terjebak dalam rutinitas pembelajaran daring dan fokus pada lulus tanpa mempertimbangkan dampak sosial dari pendidikan yang mereka jalani. Pandemi telah membatasi interaksi sosial dan diskusi kritis, sehingga menciptakan lingkungan yang tidak mendukung pembentukan karakter mahasiswa yang aktif. Ketidakmampuan untuk beradaptasi dengan realitas baru ini mengakibatkan mahasiswa lebih memilih untuk menjadi konsumen informasi ketimbang produsen ide.
Selain itu, pergeseran fokus ke dalam dunia digital juga berkontribusi pada apatisme ini. Dengan pembelajaran daring yang menjadi norma baru, mahasiswa cenderung mengalami isolasi sosial. Interaksi langsung yang selama ini menjadi bagian penting dalam proses pendidikan dan diskusi politik menjadi terbatas. Mereka lebih nyaman duduk di belakang layar, mengonsumsi konten yang tidak selalu kritis, dan terjebak dalam bubble informasi yang menyenangkan. Hal ini membuat mereka kehilangan kemampuan untuk berdebat, mempertanyakan, dan terlibat dalam isu-isu sosial yang nyata. Ironisnya, di saat masyarakat membutuhkan suara mereka, banyak mahasiswa justru memilih untuk berdiam diri.
Kondisi ini semakin diperburuk oleh kurangnya pendidikan politik dan kesadaran sosial di lingkungan kampus. Kurikulum yang cenderung berorientasi pada pencapaian akademis sering kali mengabaikan aspek-aspek penting mengenai partisipasi sosial dan politik. Banyak mahasiswa tidak pernah diajarkan untuk memahami hak dan kewajiban mereka sebagai warga negara yang aktif. Ketidaktahuan ini menciptakan generasi yang tidak hanya apatis, tetapi juga tidak teredukasi tentang pentingnya keterlibatan dalam proses demokrasi. Tanpa pemahaman yang kuat tentang peran mereka dalam masyarakat, mahasiswa cenderung memilih untuk tidak berpartisipasi, membiarkan isu-isu sosial berlalu tanpa perhatian.
Selanjutnya, kita perlu mengkaji dampak dari sikap apatis ini terhadap masyarakat. Ketika mahasiswa memilih untuk tidak terlibat, mereka melewatkan kesempatan untuk mempengaruhi perubahan yang diperlukan dalam masyarakat. Banyak isu sosial yang memerlukan perhatian, seperti ketidakadilan sosial, isu lingkungan, dan hak asasi manusia, di mana suara mahasiswa seharusnya menjadi sangat penting. Namun, ketika mereka tidak berpartisipasi, suara generasi muda menjadi redup. Ini bukan hanya kegagalan individu, tetapi juga kegagalan kolektif yang akan membawa dampak jangka panjang bagi masyarakat.


Tinggalkan Balasan