TANYAFAKTA.ID – Money politics, atau politik uang, merupakan fenomena yang sering terjadi dalam konteks pemilu di Indonesia, baik di tingkat nasional maupun lokal.

Dalam kehidupan masyarakat desa, praktik ini dapat merusak tatanan demokrasi serta menimbulkan dampak jangka panjang yang negatif.

Artikel ini akan membahas bagaimana keadaan suatu desa jika money politics masih masif dilakukan, serta implikasinya terhadap kehidupan sosial, ekonomi, dan budaya.

Erosi Nilai Demokrasi

Politik uang secara langsung mengikis esensi demokrasi. Demokrasi seharusnya berlandaskan pada pemilihan pemimpin yang berkualitas, yang dipilih berdasarkan visi, misi, dan kapasitasnya untuk memajukan masyarakat.

Namun, ketika politik uang masuk, proses pemilihan menjadi transaksional. Masyarakat tidak lagi memilih berdasarkan kualitas calon, melainkan berdasarkan besarnya uang atau barang yang mereka terima.

Di desa-desa, praktik ini sangat mungkin terjadi karena masyarakat cenderung lebih mudah dipengaruhi dengan iming-iming materi.

Hal ini diperburuk oleh faktor ekonomi di mana banyak warga desa masih hidup di bawah garis kemiskinan. Dengan situasi seperti ini, janji uang tunai, sembako, atau bantuan lainnya sering kali menjadi penentu dalam proses pemilihan, bukan visi pemimpin untuk memajukan desa.

Baca juga:  Generasi Z dan Tantangan Menuju Indonesia Emas di Tengah Krisis Literasi

Efek jangka panjangnya, desa akan kehilangan kesempatan untuk dipimpin oleh tokoh yang kompeten dan berdedikasi.

Pemimpin yang terpilih cenderung adalah mereka yang memiliki modal besar untuk melakukan politik uang, bukan mereka yang memiliki kualitas dan integritas. Akibatnya, pemerintahan desa menjadi lemah dan tidak efektif dalam menghadapi berbagai tantangan pembangunan.

Kesenjangan Sosial dan Ketidakadilan

Politik uang juga memperparah kesenjangan sosial di desa. Para calon pemimpin yang terpilih melalui politik uang sering kali memiliki agenda untuk memulihkan modal yang mereka keluarkan selama kampanye.

Hal ini membuat mereka lebih fokus pada kepentingan pribadi atau kelompoknya, daripada memperjuangkan kepentingan masyarakat luas.

Dalam praktiknya, bantuan atau proyek pembangunan desa yang seharusnya merata, justru diberikan kepada sekelompok orang yang mendukung mereka selama pemilu.

Baca juga:  7 Tips Atasi Bau Rambut Akibat Helm Saat Berkendara

Sementara, masyarakat yang tidak terlibat atau tidak menerima uang dalam proses pemilu, seringkali terpinggirkan dalam program-program pembangunan. Ketidakadilan seperti ini menimbulkan ketegangan sosial, di mana rasa iri, kecemburuan, dan permusuhan antar kelompok warga semakin meningkat.

Lebih jauh, kesenjangan ini juga menciptakan polarisasi di desa. Masyarakat terpecah menjadi kelompok pendukung dan penentang, yang pada akhirnya merusak solidaritas sosial.

Pola gotong royong, yang merupakan bagian penting dari kehidupan desa, semakin memudar karena perbedaan kepentingan dan ketidakpercayaan antar warga.

 Korupsi yang Semakin Subur

Politik uang membuka jalan bagi praktik korupsi yang lebih luas. Setelah terpilih, pemimpin yang terlibat dalam politik uang cenderung memanfaatkan jabatan mereka untuk mengembalikan modal yang telah mereka keluarkan selama kampanye.

Mereka sering kali terlibat dalam penyalahgunaan anggaran desa, seperti menggelembungkan proyek pembangunan atau memanipulasi laporan keuangan untuk keuntungan pribadi.

Baca juga:  Bawaslu Kota Jambi Periksa Saksi Kunci, Cawako HAR Kembali di Laporkan Diduga Kampanye di Kelenteng

Korupsi di tingkat desa tidak hanya merugikan keuangan desa, tetapi juga menghambat perkembangan ekonomi. Dana yang seharusnya digunakan untuk meningkatkan infrastruktur, pendidikan, atau kesehatan masyarakat justru dialihkan untuk kepentingan pribadi.

Akibatnya, desa tetap terbelakang, dengan minimnya pembangunan yang dirasakan langsung oleh warga.

Selain itu, korupsi yang meluas di tingkat desa menurunkan tingkat kepercayaan masyarakat terhadap pemerintahan.

Masyarakat menjadi apatis terhadap proses politik, karena merasa bahwa pemimpin hanya akan memanfaatkan kekuasaan untuk kepentingan pribadi mereka, tanpa benar-benar peduli pada nasib warga.

Penghambat Pembangunan Jangka Panjang

Money politics tidak hanya berdampak negatif dalam jangka pendek, tetapi juga menghambat pembangunan desa dalam jangka panjang.

Ketika pemimpin desa terpilih bukan karena kompetensinya, melainkan karena praktik politik uang, maka arah pembangunan desa menjadi tidak jelas.

Pemerintah desa yang terpilih melalui politik uang cenderung tidak memiliki visi yang jelas untuk memajukan desa.