Kebencian mahasiswa yang dipertontonkan secara nyata adalah kebencian pada Jokowi dan semua elit-elit negara yang menjadi pengkhianat bangsa. Untuk Jokowi, mereka memuntahkan kejijikan mereka dengan membuat tatrikal “Gantung Jokowi” dan menghina menantunya yang hedonis bau ketiak (Erina Gundano bau ketiak bertengger dalam puncak google trend beberapa kali). Semua kekecewaan ini bermuara dari kerakusan Jokowi dalam mengelola negara. Sampai-sampai rakyat menduga bahwa Jokowi akan mewariskan Indonesia sampai ke Jan Ethes, cucunya, kelak.
Kebencian mahasiswa lainnya juga ditujukan pada elit-elit politik, khususnya DPR/DPRD, di mana mereka menganggap elit-elit itu hanya penjahat belaka. Diberbagai kota, mahasiswa menyerang kantor-kantor dewan, sebagiannya menggemboknya. Gerakan mahasiswa ini terjadi dengan bentrokan yang keras dengan aparatur negara.
Apa yang diinginkan mahasiswa itu? Apa motivasinya? Seorang dosen UGM yang meriset gerakan mahasiswa terbaru mengatakan bahwa mahasiswa ingin ada perubahan dan merekalah agen perubahan (Agent of Change) itu. (Lihat: koran.tempo.co/read/pendidikan/485231/alasan-ikut-demonstrasi-mahasiswa).
Dalam teori “Social Movement”, mahasiswa merasa bahwa perubahan itu sedang mereka emban ketika mereka tidak percaya lagi pada negara. Dan umumnya mereka bergerak pada siklus di mana semua elit-elit negara menjadi korup dan sesuka hatinya mengusur negara. Sebaliknya, rakyat tetap dibiarkan miskin. Hal ini juga kita saksikan dari berbagai orasi demonstrasi mahasiswa diberbagai kota belakangan ini.
Lalu bagaimana Indonesia ke depan?
Pidato Prabowo yang berapi-api tentu perlu diapresiasi bahwa ke depan negara dipastikan akan dipimpinnya berbeda dengan era Jokowi. Jika Jokowi haus kekuasaan, maka Prabowo haus pengabdian. Dua konsep yang berbeda.
Sayangnya, mahasiswa telah a priori pada elit-elit yang diasumsikan Prabowo mewakili rakyat dan mampu mengabdi. apakah asumsi ini valid?
Jika melihat Index Persepsi Korupsi yang kandas diangka terendah 35, dan adanya laporan KPK angka korupsi mencapai hampir 50% dari projek, selama ini, maka dapat dipastikan bahwa elit-elit bangsa kita terjebak pada budaya tersebut. Pertanyaannya apakah mereka, para elit, bisa bersatu untuk keperluan rakyat miskin? Bukankah mereka terbiasa dengan memiskinkan rakyat? Bahkan, menteri asal Nasdem, misalnya, beberapa tahun lalu, menciptakan projek BTS fiktif berjumlah hampir 10 triliun. Apakah mahasiswa akan percaya elit-elit yang dihimpun Prabowo?
Ini adalah tugas besar Prabowo. Kalau hanya mengumpulkan parpol dan elit-elit, itu bisa disebut persate-an, bukan persatuan. Persatuan membutuhkan energi dan spirit yang sama. Ruh yang sama. Tanpa itu, semua akan berantakan.
Begitupun, orang pintar pernah berkata “tetes demi tetes air bersih yang datang dari bukit, akan mampu membersihkan lumpur kotor di batu cadas”. Tentu, semangat Prabowo untuk bersatu dan membangun untuk rakyat harus diberikan dukungan.
Penutup
Pidato Prabowo Subianto dihadapan peserta Kongres Nasdem kemarin sangat mulia, tajam, misi kerakyatan yang kuat dan sangat membanggakan. Sebagai orator, Prabowo sejajar dengan orator-orator ulung dunia sekelas Bung Karno dan Barack Obama. Kita perlu apresiasi.
Persoalannya apakah Prabowo Subianto yakin dengan elit-elit politik yang busuk saat ini, sebagaimana dihinakan mahasiswa. Inilah kerja keras membangun persatuan bukan persate-an.
Penulis : Dr. Syahganda Nainggolan | Sabang Merauke Circle
Tinggalkan Balasan