TANYAFAKTA.ID – Pilkada serentak seharusnya menjadi momen transformatif bagi generasi muda untuk tidak hanya mengekspresikan suara, tetapi juga membentuk arah masa depan daerah.

Dalam konteks ini, visi dan misi calon kepala daerah adalah fondasi penting untuk pembangunan. Sayangnya, keterlibatan generasi muda dalam politik sering kali terperangkap dalam narasi yang dangkal, di mana anak muda lebih dijadikan alat kampanye ketimbang pemikir kritis.

Yang mana seharusnya generasi muda sebagai generasi penerus bangsa hadir dalam konstelasi politik ini menyodorkan nilai-nilai yang membangun, namun cenderung kearah sebaliknya dan berkutat kepada dinamika politik negatif yang tidak tentu arah.

Di berbagai belahan dunia, peran generasi muda dalam politik telah membuktikan dampak signifikan. Di Swedia, misalnya, partai politik secara aktif melibatkan pemuda dalam diskusi kebijakan, dengan organisasi seperti Youth Council yang memberikan suara pada generasi muda dalam pengambilan keputusan.

Baca juga:  Meski Tak didukung PAN, Romi Masih Anggap PAN Sebagai Saudara

Hal serupa terlihat di Prancis, di mana gerakan “gilets jaunes” memobilisasi anak muda untuk memperjuangkan keadilan sosial dan memanfaatkan media sosial untuk menyoroti isu-isu fundamental. Kemudian di Tunisia, setelah revolusi Arab, generasi muda terlibat aktif dalam proses politik baru yang menuntut reformasi dan transparansi.

Hal ini menunjukkan dibelahan dunia lain bahwa generasi muda mulai menunjukkan kekuatannya dalam upaya melahirkan gagasan-gagasan besar dengan cita-cita untuk membangun peradaban yang lebih baik.

Namun, di Indonesia, meski pemilih muda mencapai 31,23 persen—setara dengan 63.953.031 suara—partisipasi generasi muda sering kali terjebak dalam statistik tanpa makna. Suara generasi muda seharusnya menjadi kekuatan kolektif yang menggerakkan perubahan, tetapi kenyataannya lebih sering dijadikan alat untuk kepentingan politik sesaat.

Baca juga:  Bendera HMI Dilecehkan, Kader Dianiaya: Saatnya Keadilan Ditegakkan

Kekuatan yang hadir dari generasi muda tidak memberikan arti bermakna dalam peta politik hari ini, hanya saja mereka cenderung mengisi basis-basis yang sudah diduduki oleh kekuatan politik hari ini dan tidak memiliki kemampuan lebih untuk mendorong sesuatu yang lebih “revolusioner”.

Undang-Undang No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum dan Undang-Undang No. 40 Tahun 2009 tentang Kepemudaan seharusnya memberi dorongan bagi pemuda untuk berpartisipasi aktif. Namun, banyak di antara anak muda terjebak sebagai relawan atau tim sukses yang terfokus pada kampanye adu domba, bukan pada pengembangan visi pembangunan.

Budaya politik saat ini cenderung memanfaatkan semangat dan idealisme generasi muda untuk meraih suara, tanpa memberikan ruang bagi anak muda untuk berinovasi dan berkontribusi secara substantif.

Baca juga:  KPU Jambi: Pendaftaran KPPS Ditutup Tanpa Perpanjangan, Tantangan Rekrutmen di Daerah Terpencil

Salah satu tantangan terbesar adalah maraknya serangan melalui media sosial yang tidak konstruktif. Media sosial, yang seharusnya menjadi alat untuk mobilisasi dan diskusi yang produktif, sering kali menjadi medan pertempuran bagi serangan pribadi dan fitnah.