TANYAFAKTA.ID, KOTA JAMBI – Pilkada dan pemerintahan di Indonesia semakin memperlihatkan wajah asli dari demokrasi yang terjebak dalam cengkeraman oligarki. Elite penguasa, melalui sistem yang mereka bangun, memastikan kekuasaan tetap berputar di lingkaran mereka, mengorbankan rakyat sebagai taruhannya.

Pilkada, yang digadang sebagai mekanisme demokrasi, tak lebih dari sekadar panggung formalitas yang melahirkan kepala daerah yang menjadi boneka bagi kepentingan pusat dan pemilik modal besar.

Komposisi politik nasional hingga lokal semakin terang-terangan dikuasai oleh figur-figur yang memiliki afiliasi kuat dengan industri ekstraktif. Mereka adalah pemain utama dalam bisnis tambang, perkebunan skala besar, dan energi, yang terus memperluas jangkauan pengaruhnya hingga ke daerah.

Dengan dalih pembangunan ekonomi, mereka mendikte kebijakan yang mendorong perampasan sumber daya alam (SDA), kerusakan lingkungan, dan konflik agraria yang tak berkesudahan.

Baca juga:  Membaca Lanskap Jambi: Mengurai Kompleksitas, Menata Konektivitas

Pilkada 2024 tampaknya tidak akan menjadi ruang perubahan. Para kandidat kepala daerah, meski membawa slogan-slogan penuh janji, pada dasarnya tidak lebih dari pelaksana agenda pusat. Mereka terikat oleh regulasi yang didesain untuk memastikan bahwa kekuasaan sesungguhnya tetap berada di tangan elite di ibu kota.

Undang-undang seperti UU Minerba dan UU Cipta Kerja adalah contoh nyata bagaimana sistem ini telah dirancang sedemikian rupa untuk mempermudah eksploitasi SDA, sambil melemahkan posisi kepala daerah.

Calon kepala daerah yang maju dalam Pilkada mayoritas berasal dari jaringan partai politik yang sudah terkooptasi oleh kepentingan bisnis besar. Dengan struktur kampanye yang mahal, para kandidat bergantung pada donasi besar dari korporasi, yang pada akhirnya mengikat mereka pada kepentingan penyumbangnya. Setelah terpilih, mereka tidak lagi bekerja untuk rakyat, melainkan untuk membayar “utang politik” mereka kepada pemilik modal.

Baca juga:  Maulana - Diza Akan dilantik Sebagai Wali Kota dan Wakil Walikota Jambi 6 Februari Mendatang

Isu transisi energi yang sering disuarakan elite pusat hanyalah kedok untuk memperluas eksploitasi SDA. Tambang nikel untuk baterai kendaraan listrik, eksploitasi panas bumi (geothermal), dan perluasan tambang batu bara terus digencarkan atas nama “masa depan hijau.”

Namun, realitas di lapangan menunjukkan ironi besar. Desa-desa di sekitar tambang kehilangan akses terhadap air bersih dan sumber pangan. Ekosistem lokal hancur, sementara masyarakat adat dan petani kecil dipaksa meninggalkan tanah leluhur mereka.

Ekspansi tambang ini juga memicu konflik sosial yang akut. Aparat keamanan sering kali dikerahkan untuk meredam protes masyarakat yang menolak proyek tambang. Kriminalisasi, intimidasi, dan kekerasan menjadi “alat negara” untuk melanggengkan eksploitasi yang merugikan rakyat. Di sisi lain, keuntungan besar dinikmati oleh pemilik tambang, baik lokal maupun asing, yang berkolaborasi erat dengan elite politik.

Baca juga:  Politik Dinasti dan Arogansi: Ketidakcakapan dalam Memimpin dan Menanggapi Dinamika Sosial

Pilkada 2024 tidak menawarkan harapan nyata bagi masyarakat. Dalam kondisi di mana semua kandidat merupakan bagian dari sistem yang sama, pilihan rakyat menjadi tidak relevan. Apa yang disebut “demokrasi” ini hanyalah mekanisme formal untuk melegitimasi kekuasaan yang sudah ditentukan.

Kepala daerah yang terpilih hanya akan menjadi perpanjangan tangan kebijakan pusat yang pro-oligarki, sementara rakyat terus menanggung beban kerusakan yang ditinggalkan oleh kebijakan tersebut.