Lebih buruk lagi, undang-undang yang memusatkan kekuasaan membuat kepala daerah kehilangan wewenangnya untuk menolak proyek-proyek yang merugikan lingkungan.
Mereka hanya menjadi pelaksana teknis yang tunduk pada instruksi pusat, tanpa kapasitas untuk melindungi rakyatnya. Pilkada bukan lagi arena kompetisi gagasan, melainkan sekadar ritual demokrasi yang kehilangan substansi.
Kebijakan pro-ekstraktif tidak hanya merusak lingkungan, tetapi juga memperburuk ketimpangan sosial. Wilayah kaya SDA seperti Papua, Kalimantan, dan Sumatera terus menjadi kantong kemiskinan, sementara kekayaannya dikeruk untuk memperkaya segelintir elite di ibu kota atau di luar negeri.
Penduduk lokal yang hidup di lingkar tambang harus menghadapi polusi, banjir, dan kekeringan, sementara mereka tidak mendapat bagian dari kekayaan yang dihasilkan di tanah mereka sendiri.
Kriminalisasi terhadap masyarakat adat dan petani kecil yang melawan perampasan tanah menjadi wajah suram dari demokrasi kita. Negara, yang seharusnya melindungi rakyat, justru menjadi aktor utama dalam memfasilitasi penindasan. Aparat hukum dan keamanan sering kali berpihak kepada korporasi, mengabaikan keluhan rakyat yang kehilangan ruang hidup mereka.
Masalah utama dari Pilkada dan pemerintahan saat ini adalah dominasi oligarki yang telah menyusup ke seluruh lapisan sistem politik.
Dengan dukungan modal besar dan kendali atas jaringan kekuasaan, oligarki memastikan bahwa siapa pun yang terpilih akan tetap tunduk pada kepentingan mereka. Sistem ini menciptakan lingkaran setan di mana kekuasaan dan kekayaan hanya berputar di antara segelintir elite, sementara rakyat terus menjadi korban.
Kritik terhadap Pilkada 2024 bukan hanya soal kandidat yang maju, tetapi juga sistem yang menopang ritual ini. Tidak ada ruang bagi kandidat independen atau alternatif untuk bersaing secara adil dalam Pilkada yang diwarnai dengan biaya politik tinggi dan intervensi pusat yang masif. Dalam kondisi seperti ini, demokrasi hanya menjadi topeng untuk menyembunyikan tirani oligarki.
Pilkada 2024 tidak lagi relevan sebagai solusi bagi persoalan rakyat. Dalam sistem yang dikuasai oleh oligarki, kepala daerah yang terpilih hanya akan menjadi pelaksana kebijakan pusat yang pro-korporasi. Demokrasi yang sejatinya menjadi alat rakyat untuk menentukan nasibnya sendiri telah berubah menjadi alat legitimasi kekuasaan boneka.
Jika tidak ada perubahan struktural yang signifikan, Pilkada hanya akan melahirkan lebih banyak konflik agraria, kerusakan lingkungan, dan kemiskinan struktural.
Rakyat perlu melihat kenyataan ini dengan kritis dan menyadari bahwa perlawanan terhadap sistem adalah satu-satunya jalan untuk menyelamatkan masa depan. Pilkada hanyalah awal dari serangkaian kebijakan yang dirancang untuk terus menindas mereka yang berada di lapisan terbawah masyarakat.
Penulis : Ahmad Fadillah Zurdi | Mahasiswa Fakultas Hukum


Tinggalkan Balasan