TANYAFAKTA.ID – Banjir besar yang melanda Kabupaten Sarolangun pada awal tahun 2024 memunculkan pernyataan yang terkesan klise dari PJ Bupati Sarolangun, yang mengatakan, “Banjir diakibatkan oleh curah hujan yang tinggi.” Pernyataan ini, meskipun tidak sepenuhnya salah, namun terlalu menyederhanakan permasalahan yang jauh lebih kompleks.

Benar bahwa curah hujan yang tinggi memperburuk banjir, tetapi mengabaikan kerusakan lingkungan yang telah terjadi akibat pengelolaan lahan yang buruk adalah kesalahan besar. Ketika pemerintah daerah hanya memandang curah hujan sebagai faktor utama, mereka mengabaikan kenyataan bahwa faktor struktural yang jauh lebih berbahaya, seperti konversi hutan menjadi perkebunan sawit dan penggunaan pupuk kimia secara berlebihan, justru menjadi penyebab utama banjir yang berulang.

Salah satu faktor terbesar yang menyebabkan kerusakan lingkungan di Sarolangun adalah ekspansi perkebunan kelapa sawit. Tidak bisa dipungkiri bahwa perkebunan sawit di Kabupaten Sarolangun berkembang pesat, terutama di sekitar wilayah aliran sungai. Salah satu dampak nyata dari ekspansi ini adalah berkurangnya kemampuan tanah untuk menyerap air, karena sawit, meskipun ekonomis, tidak memiliki kemampuan yang sama dengan vegetasi asli dalam mengatur aliran air dan mencegah erosi.

Baca juga:  Panen Perdana Kelapa Sawit, Gubernur Jambi Apresiasi Pembukaan Lahan Tanpa Pembakaran

Ditambah dengan penggunaan pupuk kimia secara besar-besaran untuk mempercepat produksi, kerusakan ekosistem semakin parah. Pupuk kimia ini menyebabkan tanah kehilangan kesuburannya, memperburuk struktur tanah, dan mengubah pH tanah menjadi asam, yang mengganggu keseimbangan mikroorganisme yang seharusnya mendukung kesuburan tanah. Semua ini menciptakan kondisi yang semakin rentan terhadap banjir, karena air hujan tidak dapat lagi terserap dengan baik oleh tanah yang telah rusak strukturnya.

Namun, yang lebih mengkhawatirkan lagi adalah lemahnya implementasi kebijakan yang ada untuk mengatur praktik-praktik perkebunan sawit ini. Sebagai contoh, Indonesia memiliki Sistem Sertifikasi Perkebunan Kelapa Sawit Indonesia (ISPO), yang dimaksudkan untuk menjamin bahwa perkebunan sawit dikelola secara berkelanjutan dan tidak merusak lingkungan. Namun, meskipun ISPO telah diterapkan sejak 2011, banyak pihak yang berpendapat bahwa penerapan ISPO di Sarolangun, dan bahkan di banyak daerah lain, masih jauh dari ideal. Salah satu masalah utama adalah ketidakmampuan pengawasan yang efektif terhadap perkebunan sawit yang tidak mematuhi standar ISPO, terutama dalam hal pengelolaan lingkungan, penggunaan pupuk kimia, dan konversi hutan menjadi lahan sawit.

Baca juga:  Sarolangun Raih Juara I Penilaian Kinerja Aksi Konvergensi Stunting se-Provinsi Jambi

Selain itu, kebijakan yang baru saja diterbitkan pada tahun 2023, yaitu Peraturan Bupati Sarolangun Nomor 37 Tahun 2023 tentang Rencana Aksi Daerah Perkebunan Kelapa Sawit (RAD-KSB), seharusnya menjadi salah satu upaya konkret untuk mengatasi masalah perkebunan sawit yang tidak berkelanjutan di daerah ini. RAD-KSB bertujuan untuk merencanakan dan mengatur pengelolaan perkebunan sawit di tingkat daerah dengan mempertimbangkan aspek keberlanjutan lingkungan, sosial, dan ekonomi.

Namun, pada kenyataannya, implementasi dari RAD-KSB ini masih sangat terbatas dan belum menunjukkan dampak signifikan terhadap pengelolaan perkebunan sawit yang ramah lingkungan. Salah satu alasan utama adalah rendahnya tingkat pengawasan terhadap perkebunan sawit yang ada, serta lemahnya sanksi terhadap pelanggaran yang dilakukan oleh pemilik perkebunan.

Baca juga:  Memperingati Hari Lahir Bung Karno: Menghidupkan Kembali Semangat Nasionalisme