Pemerintah Provinsi Jambi sendiri nampak sekali ketidakmampuannya mengelola keuangan daerah. Tidak mampu menyesuaikan pendapatan dengan belanja daerah. Ketika pendapatan daerah mengalami kontraksi atau turun jumlah belanja malah mengalami peningkatan. target-target yang ditetapkan malah tidak terealisir dengan optimal, bahkan ABPD Tahun 2025, ditetapkan sebesar Rp4.575 Triliun. jauh lebih rendah dibandingkan APBD Provinsi Jambi tahun 2024 adalah sebesar Rp 5,1 triliun.

Ada beberapa pemicu mengapa kehadiran pemerintah menjadi semakin tidak berarti dalam kinerja perekonomian Jambi.

Pertama, terletak pada kekurang piawaian menyusun skala prioritas sehingga program yang dikerjakan bukan sepenuhnya berdasarkan kebutuhan masyarakat melainkan keinginan dan kepentingan pemerintah saja.

Kedua, lemahnya sinergi antarlevel pemerintahan. Baik pemerintah provinsi mapun kabupaten kota berjalan sendiri-sendiri sehingga pemanfaatan anggaran kurang efisien dan hasilnya kurang optimal. Sumber-sumber ekonomi tidak tergali secara efektif, khususnya yang berkaitan dengan potensi ekonomi rakyat berorientasi ekspor dan substitusi impor.

Baca juga:  Penjajahan di Balik Topeng Marhaenis: Sebuah Refleksi Kritis

Ketiga, lemahnya birokrasi baik dalam tahan perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan yang didorong oleh kepemimpinan yang kurang berorientasi pada memperkuat birokrasi dan menumbuhkan good corporate governance yang berkelanjutan dan membaik.

Keempat, rendahnya produktivitas dan inovasi aparatur pemerintahan sehingga sulit menghasilkan terobosan-terobosan yang fenomenal untuk membuat rakyat menjadi terdorong untuk kreatif dalam persektif kewirausahaan berkelanjutan.

Kelima, tidak didukungnya proses implementasi keuangan daerah dengan sistem pengawasan yang baik dan rendahnya kinerja aparat penegah hukum dalam memastikan proses birokrasi berjalan sebagai proses yang clean and clear goverment.