Masalahnya adalah meskipun dalam dokumen program tercatat untuk kelompok miskin, dalam pelaksanaannya, penyerapan anggaran banyak digunakan untuk belanja administrasi, honor aparatur, dan perjalanan dinas pada program yang dicanangkan.

Fenomena ini menunjukkan adanya reification of obligations and authority, di mana secara administratif, nomenklatur penganggaran mengacu pada program kemiskinan, namun penggunaan anggaran yang riil kurang tepat sasaran, tidak menyentuh langsung kelompok miskin.

Selain itu, terdapat banyak program pemerintah Provinsi Jambi yang menyerap anggaran besar, seperti pembangunan Ruang Terbuka Hijau senilai 35 miliar dan Jalan Alternatif Batubara Karmeo-Kilangan sebesar 50 miliar, yang tidak berdampak langsung pada ekonomi masyarakat. Hingga hari ini, program-program tersebut gagal berfungsi, dan anggaran terbuang sia-sia tanpa ada output yang jelas.

Baca juga:  Gubernur Al Haris Kumpulkan Seluruh Kepala OPD, Evaluasi dan Pertajam Program Kerja

Selanjutnya, penggunaan anggaran untuk pembangunan dua megaproyek secara multi-years (tiga tahun anggaran), yaitu Stadion Bola dan Islamic Center, yang mencapai total 400 miliar, sebenarnya belum menjadi kebutuhan prioritas masyarakat Provinsi Jambi.

Seharusnya, jika anggaran sebesar itu digunakan untuk program-program yang langsung menyentuh persoalan masyarakat, terutama yang berorientasi pada pengentasan kemiskinan, tentu persentase tingkat kemiskinan akan berkurang dan berdampak pada pertumbuhan ekonomi yang positif.

Orientasi program pemerintah Provinsi Jambi seyogianya berbasis pada kebutuhan masyarakat, bukan hanya pada keinginan pemerintah itu sendiri. Oleh karena itu, dibutuhkan program-program yang fokus pada penguatan ekonomi, bantuan sosial, serta ketahanan pangan, dan penguatan komoditas unggulan yang berbasis pada pengembangan kemandirian ekonomi masyarakat.

Baca juga:  Pusaran Industri Sawit di Jambi dan Krisis Tenurial, Ekologis, Sosial

Penulis : Iin Habibi