Mereka juga menyatakan bahwa beberapa wilayah, seperti Sumatera, Kalimantan, dan Papua, telah melampaui daya dukung ekosistem mereka, mengancam keseimbangan ekologis.

“Kami juga mencatat adanya lebih dari 1.100 kasus konflik agraria terkait dengan perkebunan sawit, yang banyak disebabkan oleh masalah perolehan lahan tanpa persetujuan masyarakat dan pelanggaran hak-hak masyarakat adat,” tambah Abu.

Sebagai solusi, Kaoem Telapak menyarankan beberapa langkah strategis. Salah satunya adalah peningkatan produktivitas sawit tanpa perlu ekspansi lahan baru melalui program peremajaan dan penerapan praktik pertanian yang berkelanjutan.

“Peningkatan produktivitas bisa dilakukan tanpa perlu membuka lahan baru. Dengan teknologi dan praktik yang baik, kita bisa meningkatkan hasil tanpa merusak lingkungan,” ungkap Abu Meridian.

Baca juga:  Presiden Prabowo Jalani Agenda Diplomatik di Rusia, Bertemu Presiden Putin dan Hadiri SPIEF 2025

Kaoem Telapak juga mendesak pemerintah untuk memperkuat kebijakan moratorium kelapa sawit, termasuk penghentian izin baru dan penguatan tata kelola berbasis prinsip keberlanjutan.

“Kami percaya, dengan kebijakan yang lebih tegas dan berbasis pada prinsip keberlanjutan, kelapa sawit Indonesia bisa menjadi komoditas unggulan yang tidak hanya menguntungkan secara ekonomi, tetapi juga ramah lingkungan dan menghargai hak-hak masyarakat,” tegasnya.

Surat terbuka tersebut diakhiri dengan harapan agar masukan dari Kaoem Telapak dapat menjadi bahan pertimbangan bagi Presiden dan pemerintah dalam mengambil kebijakan terkait industri kelapa sawit di masa depan.  (*)