Pemerintah mungkin menganggap Rp8 triliun bukanlah angka yang besar. Tapi coba tanyakan kepada anak-anak diujung perdesaan yang belajar di sekolah beratap bocor, atau kepada para guru honorer yang gajinya lebih rendah dari upah buruh kasar. Bagi mereka, angka itu bukan sekadar statistik itu adalah harapan, itu adalah hidup, itu adalah masa depan yang direnggut perlahan-lahan oleh para teknokrat yang gemar berdalih soal efisiensi.
Jika pendidikan terus-menerus dipangkas dengan dalih penghematan bahkan teruntuk kebijakan makan bergizi gratis yang takbermakna, harusnya negara harus lebih bijaksana dalam pengambilan kebijakan.
Penulis : Hayatullah Qomainy | Formateur HMI FISIP UNJA
Tinggalkan Balasan