TANYAFAKTA.IDInstruksi Presiden Republik Indonesia, Prabowo Subianto yang memerintahkan pemangkasan anggaran di Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) yang semula direncanakan sebesar Rp 22,5 triliun menjadi sekitar Rp 14,3 triliun menandai langkah signifikan dalam kebijakan pengelolaan keuangan negara.

Pemangkasan anggaran ini menyasar berbagai sektor, termasuk anggaran untuk bantuan operasional perguruan tinggi negeri (BOPTN), yang dipangkas hingga 50 persen dari total anggaran yang semula Rp 9,8 triliun.

Selain itu, alokasi anggaran untuk perguruan tinggi negeri (PTN) Badan Hukum juga dipotong separuhnya, dari Rp 6 triliun menjadi Rp 3 triliun, serta pengurangan bantuan kelembagaan bagi perguruan tinggi swasta (PTS) yang turun 50 persen dari Rp 365 miliar.

Baca juga:  Membelah Nasionalis, Merapikan Kekuasaan: Tangan Imanuel Cahyadi, Setneg & BIN di Balik Perpecahan GMNI?

Namun, pemangkasan anggaran yang signifikan ini berpotensi menimbulkan dampak serius terhadap keberlanjutan kualitas pendidikan tinggi di Indonesia, terutama bagi mahasiswa dari keluarga berpendapatan menengah ke bawah.

Salah satu dampak paling nyata adalah terancamnya kelangsungan program Uang Kuliah Tunggal (UKT) dan Beasiswa KIP-K, yang menjadi salah satu saluran utama bagi mahasiswa kurang mampu untuk tetap melanjutkan pendidikan tinggi.

Tanpa adanya pengawasan yang ketat dari kementerian, pemangkasan anggaran ini membuka peluang bagi terjadinya praktik tidak sehat di tingkat perguruan tinggi, baik di PTN maupun PTS.

Menurut hemat penulis, pemangkasan anggaran ini berpotensi menjadi peluang bagi oknum-oknum di perguruan tinggi negeri untuk melakukan praktik kolusi, korupsi, dan nepotisme (KKN) dalam pengelolaan UKT maupun beasiswa.

Baca juga:  Mengurai Ketimpangan, Menggapai Harapan: Potret IPM Jambi