Tidak hanya itu, Mursyid juga mengungkapkan bahwa sejak era Orde Baru hingga kini, kebijakan yang diambil oleh Kominfo Provinsi Jambi sangat merugikan kebebasan pers.
Menurutnya, media yang berfungsi sebagai kontrol sosial terhadap pemerintahan kini dianggap sebagai musuh.
“Indeks kemerdekaan pers di Provinsi Jambi terus merosot, dan Dinas Kominfo Provinsi Jambi kini menjadi ‘monster’ yang menakutkan bagi media yang kritis,” tegas Mursyid.
Di tengah kontroversi ini, Mursyid menyarankan agar Dinas Kominfo Provinsi Jambi merujuk pada Undang-Undang Pers serta aturan dari Dewan Pers dalam menetapkan kriteria kerja sama media massa.
“Seharusnya, media yang berkerja sama dengan pemerintah harus memenuhi standar yang jelas dan transparan, seperti memiliki wartawan yang meliput di Pemprov Jambi dan bukan hanya mengandalkan rilis dari dinas,” tambahnya.
Yang lebih mencengangkan, ada beberapa media yang sudah terverifikasi oleh Dewan Pers, namun malah tidak diterima dalam proses kerja sama.
“Proses verifikasi Dewan Pers sangat ketat, dan jika media sudah lulus, itu seharusnya menjadi bukti kredibilitas. Namun, kenyataannya masih ada media yang tidak diperhitungkan,” kritik Mursyid.
Skandal ini mencerminkan ketidakjelasan dan penyalahgunaan wewenang dalam pengelolaan kontrak publikasi oleh Dinas Kominfo Provinsi Jambi.
Banyak pihak yang mulai mempertanyakan apakah kebijakan ini benar-benar untuk kepentingan publik, ataukah hanya bertujuan untuk memperkuat cengkraman politik tertentu atas media. Dengan kebebasan pers yang semakin terkekang, Jambi seakan kembali ke era di mana media hanya menjadi alat legitimasi kekuasaan. (*)


Tinggalkan Balasan