TANYAFAKTA.ID, JAKARTA – Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI secara resmi mengesahkan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perubahan atas Undang-Undang (UU) Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI) menjadi UU.

Pengesahan RUU TNI menjadi UU tersebut dilakukan dalam rapat paripurna yang dihadiri oleh sejumlah Menteri Kabinet Merah Putih di Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta Pusat, pada Kamis (20/3/2025).

Rapat tersebut dipimpin oleh Ketua DPR RI Puan Maharani, yang didampingi oleh Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad, Saan Mustopa, dan Adies Kadir.

“Apakah Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia dapat disetujui untuk disahkan menjadi undang-undang?” tanya Puan, yang kemudian dijawab setuju oleh para peserta rapat.

Ketua Komisi I DPR RI, Utut Adianto, menjelaskan bahwa pengesahan RUU TNI menjadi UU tetap berpegang pada nilai dan prinsip demokrasi.

“Kami menegaskan bahwa perubahan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI tetap berdasarkan pada nilai dan prinsip demokrasi, supremasi sipil, hak asasi manusia, serta memenuhi ketentuan hukum nasional dan internasional yang telah disahkan,” ujar Utut saat memaparkan laporan RUU tersebut, yang dikutip dari Antara, Kamis (20/3/2025).

Baca juga:  KT Mandiri dan GMNI Jambi Duduki Lahan Sengketa PT TML, Desak Pemprov dan DPR RI Turun Tangan

Namun, langkah pengesahan UU TNI ini menuai kritik keras dari sejumlah kalangan, termasuk Adinda Tenriangke Muchtar, Direktur The Indonesian Institute.

Dalam wawancara dengan TanyaFakta.id, Adinda menyatakan bahwa pengesahan UU TNI menunjukkan makin mundurnya demokrasi di Indonesia dan semakin jauh dari nilai-nilai Reformasi 98.

“Menurut saya, pengesahan UU TNI ini menunjukkan semakin mundurnya demokrasi kita dan semakin jauh dari marwah Reformasi 98. Hal ini juga menunjukkan betapa DPR semakin tidak bisa diandalkan dalam menjalankan fungsi perwakilan rakyat karena mengabaikan aspirasi rakyat,” ujar Adinda.

Dia juga menyayangkan bahwa ada isu legislasi prioritas lainnya yang lebih penting namun lambat dibahas, seperti soal perampasan aset dan hak-hak masyarakat adat.

Baca juga:  Ribuan Klien Bapas Serentak Lakukan Aksi Sosial, Wujud Kesiapan Implementasi Pidana Alternatif

Adinda juga menyebutkan bahwa meskipun masyarakat sipil akan terus mengadakan aksi-aksi seperti Kamisan dan melakukan upaya judicial review, dampaknya terhadap kebijakan yang sudah diterapkan tetap tidak bisa dipastikan.

“Sejauh mana akan berdampak dengan model pembuatan kebijakan yang tergesa-gesa, diam-diam, dan cenderung ugal-ugalan ini, no one knows. Tetapi kita harus terus kritis dan lantang bersuara memberi tekanan publik,” lanjut Adinda.

Lebih lanjut, Adinda menyoroti latar belakang Presiden Indonesia yang berasal dari militer, serta kehadiran TNI dalam beberapa ranah sipil, seperti pengamanan jalur Trans Jakarta.

“Presiden kita latarnya jelas militer. Kalau dilihat juga, tentara kadang jaga jalur Trans Jakarta atau mengambil ranah keamanan. Pun tidak mesti mengklaim adanya militerisme dan otoritarianisme, toh semua sudah berjalan demikian dengan balutan pseudo-democracy,” tambah Adinda dengan nada kritis.

Baca juga:  Gladi Kotor Kedua Upacara HUT Ke-80 RI Berjalan Matang, Persiapan Capai 70 Persen

Lebih lanjut, Adinda mengajak rakyat Indonesia untuk berpikir kritis dan jangan tinggal diam saat melihat ketidak adilan yang terjadi di Indonesia.

“Rakyat harus lebih berpikir kritis, tidak terlena kebijakan populis dan terus kritis mengawasi kebijakan. Manfaatkan beragam saluran demokrasi untuk bersuara kritisjangan diam kalau ada ketidakadilan,” pungkasnya.

Apa saja poin perubahan dalam RUU TNI yang disahkan oleh DPR RI menjadi UU hari ini? Berikut daftarnya:

  1. Kedudukan TNI di bawah Presiden dan Kemenhan
    Pasal 3 mengenai kedudukan TNI tetap berada di bawah Presiden terkait pengerahan dan penggunaan kekuatan. Sementara itu, strategi pertahanan dan dukungan administrasi yang berkaitan dengan perencanaan strategis berada dalam koordinasi Kementerian Pertahanan (Kemenhan).

  2. Tugas Pokok TNI Bertambah dari 14 Menjadi 16
    Pasal 7 mengenai operasi militer selain perang (OMSP) menambah cakupan tugas pokok TNI dari 14 tugas menjadi 16 tugas.
    Penambahan dua tugas pokok tersebut meliputi: