TANYAFAKTA.ID – Keyakinan dan teosentris adalah dua terminologi kontras. Filsafat memandang realita dalam ranah pemahaman. Pada awalnya, kenyataan atau realita dilihat dalam perenungan khas pemikiran. Perkembangannya, Filsafat sebelum masuk pada era modernitas adalah melalui formulasi dalam pandangan agama atau keyakinan Kristian yaitu pada abad pertengahan. Meski kental dengan nuansa yang kurang bersahabat dengan keilmuan, nyatanya pemikiran manusia mampu menembus abad yang disebut dengan zaman kegelapan tersebut dengan memuncak pada keilmuan khas sains yang ditandai dengan masa “renaissains” atau kelahiran kembali semangat keilmuan.
Jika mengikuti alur sejarah, pemikiran manusia dalam memformulasi keilmuan nyata disempurnakan dalam agama juga. Sebab semua Filsuf, meski tidak semua mengakui namun tidak ada yang menyangsikan bahwa sejatinya suatu pemikiran mengandung keyakinan di dalamnya untuk dibangun menjadi suatu konsep utuh. Bahkan pada abad pertengahan tersebut tidak hanya menjadikan keimanan sebagai dasar, namun juga paradigma dan orientasi dalam pemikirannya.
Ketercerahan agama sejatinya dapat diraih dari kitab suci sebagaimana menjadi pedoman umat beragama. Keotentikan menjadi kunci. Berikutnya, kitab suci menjadi cahaya yang menerangi remang pemikiran setiap zaman tidak terkecuali bagi kita yang senantiasa mencari dalam kehidupan zaman ini.
Teosentris sebagai klasifikasi pemikiran corak terpusat pada ketuhanan merupakan bagian selain kosmosentris yang terpusat pada alam dan antroposentris yang menjadikan manusia sebagai pusat pemahaman. Teosentris menjadikan konsep ketuhanan dalam memandang realita. Di zaman yang telah disempurnakan, menjadikan pemahaman agama sebagai perspektif dalam berpikir atau memahami realita adalah suatu keniscayaan, sebab dengannya telah dimudahkan.
Fokus pada keyakinan dalam perspektif yang menjadikan pemamahan ketuhanan dalam memandang keyakinan yang sekaligus menjadi bagian terpenting dalam agama berikut Filsafat, Islam mengemukakan berbagai jenis pengetahuan atau ilmu tentang keyakinan. Di antaranya dalam tercantum dalam Surat at-Takaatsur ayat 05 artinya: “sekali-kali tidak! Sekiranya kamu mengetahui dengan pasti” (“ilm al-yaqiin”) dan Surat at-Takatsur ayat 07 yang artinya: “kemudian kamu benar-benar akan melihatnya dengan mata kepala sendiri” (“ain al-yaqiin”) dan “dan sungguh, ia (Al-Qur’an) itu kebenaran yang meyakinkan (“haqqul yaqiin”) (al-Haqqah: 51).
Ammi Nur Baits dalam kajian online pada kanal Youtube pribadinya (anb channel) berjudul Sebab Do’a-do’a Tidak Terkabul, mengklasifikasikan keyakinan dalam tiga bagian bertingkat, yaitu “ilmul yaqin”, “ainul yaqin”, dan “haqqul yaqin” atau keyakinan berupa informasi (ilmu), keyakinan dengan menyaksikan langsung, dan keyakinan berupa pengalaman atau merasakan.
Ketiga klasifikasi ini memiliki kedekatan makna dalam Filsafat dengan istilah rasional, empirik dan eksistensial. Meski lagi-lagi konteks tempat, zaman dan sumber menjadi pembeda yang an sich antara keduanya. Perumusan konsep serta metode dan orientasi bisa saja berbeda (namun bisa juga sama), pemikiran ustadz yang kini tinggal di kota pelajar, Jogja tersebut adalah dalam menunjukkan realita dengan pemahaman keilmuan mendalam termasuk tentang makna dan klasifikasinya bahkan perbedaannya dengan pemahaman orang yang dianggap tidak meyakini hal tersebut (“Musyrik”).
Secara sederhana, makna keyakinan, berikut klasifikasi dalam perspektif Islam yang dikemukakan sang Ustadz, dapat dipahami dari ketiga contoh berikut ini sekaligus perbedaannya dalam pandangan yang tidak memiliki keyakinan akan hal tersebut.


Tinggalkan Balasan