-
Pertanggungjawaban terhadap korban bencana banjir yang terdampak akibat perubahan tata guna lahan di sekitar JBC.
-
Pertanggungjawaban kepada Pemerintah Kota Jambi, yang dinilai lalai dalam pengawasan dan perizinan.
-
Pertanggungjawaban terhadap masa depan lingkungan, yang terancam akibat eksploitasi ruang terbuka hijau untuk kepentingan bisnis.
Sayangnya, ketiga poin tersebut tidak mendapat jawaban yang substansial dari pihak JBC. Massa aksi justru merasa difitnah, dihina, dan dipermalukan — sebuah perlakuan yang ironis dalam negara demokrasi yang menjunjung tinggi partisipasi publik dan suara rakyat.
Ray Naibaho menyampaikan kekecewaannya terhadap sikap represif dan diskriminatif yang ditunjukkan oleh oknum yang mengaku sebagai perwakilan pemerintah.
“Kami datang dengan niat baik dan suara hati masyarakat. Tapi yang kami temui justru penghinaan dan pelecehan. Bahkan pihak JBC sendiri tak mampu menjawab satu pun tuntutan kami. Mereka hanya bisa ‘plonga-plongo’,” ujar Ray dengan nada kecewa.
Dia juga menegaskan, pihak JBC seperti mengadu domba massa aksi bersama warga sekitar.
“Kami hanya ingin mendengarkan pernyataan sikap dan klarifikasi dari pihak JBC, tetapi kami malah dibenturkan dengan warga yang sebenarnya korban daripada banjir itu sendiri,” pungkasnya. (*)


Tinggalkan Balasan