Upaya pengakuan dan perlindungan hak-hak masyarakat adat di Indonesia terus bergulir. Salah satu tonggak penting yang dinanti adalah pengesahan RUU Masyarakat Adat. RUU ini telah masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) sejak tahun 2009. Namun, hingga kini RUU tersebut belum juga disahkan.

Erwin Dwi Kristianto, Tim Substansi dari Koalisi Kawal RUU Masyarakat Adat, menyampaikan, “RUU Masyarakat Adat adalah untuk menjalankan mandat UUD 1945 Pasal 18B ayat (2) dan Pasal 28I ayat (3).”

Koalisi berpendapat bahwa arah pengaturan RUU tersebut meliputi dua hal utama, yaitu: pertama, penghormatan, pengakuan, dan perlindungan masyarakat adat beserta hak-hak tradisionalnya; dan kedua, pelaksanaan harmonisasi regulasi yang karakternya bersyarat, berlapis, parsial, atau sektoral.

Baca juga:  Laporan Kaoem Telapak Ungkap Ketimpangan Perlindungan CITES dan Perdagangan Ilegal

Lebih lanjut, Erwin menyebutkan bahwa terkait penghormatan, pengakuan, dan perlindungan masyarakat adat dan hak-hak tradisionalnya, setidaknya ada lima hal yang harus diatur: mekanisme pengakuan yang sederhana; memastikan masyarakat adat dapat menjalankan hak-hak tradisionalnya; pengaturan kelembagaan yang mengurus termasuk penyelesaian konflik; pengaturan ruang lingkup hak tradisional dan penegasan bahwa hak tersebut bagian dari HAM; serta pemberian restitusi dan rehabilitasi.

Di sisi lain, keterlibatan mahasiswa dianggap memegang peran penting dalam mendorong pengesahan RUU Masyarakat Adat. Hal ini menjadi wujud nyata solidaritas dan keberpihakan terhadap masyarakat adat yang selama ini sering terpinggirkan. Lebih dari sekadar isu hukum, perjuangan ini mencerminkan tanggung jawab moral generasi muda dalam menjaga nilai-nilai keadilan dan keberagaman di Indonesia.

Baca juga:  Kaoem Telapak Surati Presiden Prabowo Terkait Kebijakan Kelapa Sawit

“Sebagai mahasiswa hukum, kita punya tanggung jawab ganda. Tidak saja memahami norma hukum, tetapi juga memastikan hukum berpihak pada yang lemah. Kita tidak boleh abai terhadap penderitaan yang dialami masyarakat adat. Forum ini adalah bagian dari perjuangan itu, ruang di mana kita membangun kesadaran, merumuskan kritik, dan mengorganisasi dukungan,” ujar Ketua BEM FHUI, Muhammad Fawwaz Farhan Farabi.

Selain mendorong penguatan substansi RUU Masyarakat Adat, diskusi ini juga memperkenalkan Ground-Truth.id (GTID), sebuah platform pemantauan kehutanan berbasis web dan Android yang dikembangkan oleh Kaoem Telapak. Platform ini dirancang untuk mendokumentasikan berbagai bentuk pelanggaran terhadap hak masyarakat adat dan lingkungan hidup.

Denny Bhatara, Senior Campaigner Kaoem Telapak, menjelaskan bahwa GTID ditujukan untuk mengumpulkan dan menyajikan data hasil pemantauan yang dilakukan oleh kelompok masyarakat sipil, komunitas adat, dan lokal di berbagai wilayah Indonesia.

Baca juga:  Ratusan Petani Tuntut Penyelesaian Konflik Agraria : Kami Merasa Tidak Memiliki Pemimpin

“GTID menjadi alat bantu penting dalam mendukung advokasi ini. Platform ini mencatat berbagai pelanggaran seperti konflik agraria, perampasan lahan, perusakan lingkungan, hingga kriminalisasi terhadap pejuang adat,” jelasnya.

Dengan mensinergikan penggunaan teknologi pemantauan seperti GTID dengan aktivitas advokasi lingkungan, diharapkan upaya perlindungan terhadap wilayah adat dan kelestarian hutan Indonesia dapat semakin kuat.

“Harapannya aplikasi ini dapat dikolaborasikan sebagai wadah bagi para pemantau untuk menunjukkan bagaimana Indonesia bekerja di lapangan serta memberikan gambaran nyata tentang kondisi di tanah kita,” tutup Denny. (*)