“Tidak semua yang legal itu etis. Pemerintah harusnya selektif dalam memberi izin, terutama terhadap usaha yang berpotensi mengganggu tatanan sosial,” katanya.

Ia membandingkan dengan daerah lain seperti Bali dan Yogyakarta yang mampu menyeimbangkan pembangunan ekonomi dengan pelestarian nilai-nilai budaya lokal. Dauzen berharap Jambi juga bisa melakukan hal serupa.

“Kehadiran tempat hiburan malam semacam ini bisa menjadi preseden buruk. Jika tidak disikapi sejak dini, bisa saja memicu munculnya tempat serupa yang lebih permisif,” tambahnya.

Ia menyerukan kepada masyarakat, tokoh adat, tokoh agama, akademisi, dan generasi muda untuk bersikap kritis dan menjaga marwah adat Melayu Jambi.

“Jika hari ini kita diam, kita sedang membiarkan budaya kita terkikis oleh logika pasar yang mengabaikan nilai. Ini bukan sekadar bangunan megah, tapi simbol dari dilema moral dan ujian bagi komitmen kita,” pungkasnya. (*)

Baca juga:  BADKO HMI Jambi Kawal HUT ke-26 Kabupaten Sarolangun, Soroti Visi-Misi yang Belum Terealisasi