Dengan kata lain, subsidi kendaraan listrik dalam bentuk sekarang bukan hanya tidak tepat sasaran, tetapi juga tidak menjawab akar masalah transportasi dan emisi. Justru ada risiko bahwa subsidi ini akan memperluas kesenjangan sosial: si kaya bisa pindah ke kendaraan listrik dengan insentif, si miskin tetap mengandalkan motor BBM yang makin mahal bahan bakarnya.

Masalahnya bukan pada kendaraan listrik itu sendiri, tetapi pada siapa yang mendapat manfaat dari kebijakan publik. Apakah kebijakan ini berpihak pada rakyat banyak, atau hanya mempercantik laporan transisi energi demi investasi asing dan citra internasional?

Pemerintah seharusnya lebih berani mengubah pendekatan: jangan hanya memberikan insentif untuk pembelian kendaraan pribadi, tetapi alokasikan subsidi untuk membangun infrastruktur kendaraan umum listrik, seperti bus listrik, kereta ringan, atau bahkan angkot bertenaga listrik di kota-kota kecil. Ini akan jauh lebih inklusif, berdampak luas, dan mempercepat perubahan perilaku masyarakat.

Baca juga:  Dosen FKIP UNJA Dampingi Guru SMPN 5 Tanjabtim Susun Modul Ajar Berbasis Pembelajaran Berdiferensiasi

Di saat yang sama, pemerintah juga harus mendorong produksi lokal dan pengolahan limbah baterai agar transisi ini tidak bergantung pada impor dan tidak menciptakan masalah lingkungan baru. Tanpa itu, kita hanya memindahkan masalah dari satu tempat ke tempat lain, tanpa menyelesaikannya secara utuh.

Transisi energi adalah keniscayaan. Tapi transisi yang adil adalah keharusan. Jika tidak adil, ia hanya akan menjadi wajah baru dari ketimpangan lama dibungkus jargon hijau yang menyilaukan, tapi tidak menyentuh kehidupan rakyat kebanyakan.

Oleh :  Dona mahasiswa Ilmu Pemerintahan Universitas Jambi