Kebijakan pembangunan tertuang dalam RPJMD Kabupaten Tanjab Barat 2021–2026, yang menyatakan komitmen untuk “peningkatan infrastruktur berbasis pemerataan wilayah”. Tapi fakta lapangan jauh dari pernyataan itu.
Selama musim hujan, jalan utamanya tertutup air pasang, berlubang dalam, dan warga terpaksa melewati jalan setapak penuh semak belukar, hanya untuk menuju pasar atau sekolah. Motor mogok, akses terhambat, dan waktu tempuh bisa dua kali lipat lebih lama dari normal.
Keluhan warga tentang jalan rusak dan saluran air mampet telah berulang kali disuarakan, namun respon birokrasi minim. Apakah ini salah bupati? Tidak sepenuhnya. Tetapi birokrasi di bawahnya terbukti lamban, tidak akuntabel, bahkan tidak kenal wilayah yang mereka pimpin.
Salah satu kasus mencolok adalah pada kolom komentar akun resmi Dinas Komunikasi dan Informatika Tanjab Barat di TikTok tidak tau dimana letak desa yang dimaksud ketika warganya mengeluhkan jalan rusak. Bukankah itu memalukan? Bagaimana mungkin birokrasi digital gagal mengenali peta daerahnya sendiri?
Lebih dari itu, anggaran daerah menjadi ruang eksklusif milik segelintir elit. Banyak pos proyek yang muncul dalam dokumen anggaran, tetapi tidak jelas realisasinya. Masyarakat tidak diberi akses transparan untuk mengecek apa yang sedang dibangun, siapa pelaksananya, dan sejauh mana progresnya. Ini bertentangan dengan amanat UU No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik, dan prinsip good governance.
Sebagai mahasiswa Ilmu Pemerintahan, mengadvokasi secara tegas: Pemkab Tanjab Barat harus segera mengevaluasi kebijakan sektoral yang tidak berpihak kepada wilayah tertinggal. RPJMD harus dibuka ulang untuk koreksi arah, penganggaran harus berbasis kebutuhan riil masyarakat, bukan hanya seremonial pusat kota. Realisasi belanja infrastruktur harus diaudit oleh lembaga independen dan dibuka ke publik.
Lebih penting lagi, birokrasi Tanjab Barat harus diberi pelatihan ulang soal etika pemerintahan dan kompetensi pelayanan. Sudah saatnya sistem ini dibersihkan dari ketertutupan, dari budaya saling tutup mata, dan dari manipulasi data pembangunan. Jika tidak, slogan “BERKAH” hanya akan menjadi ironi: kota yang indah di depan, tapi luka parah di belakang.
Keadilan wilayah tidak boleh hanya menjadi wacana dalam RPJMD, tetapi harus terlihat di jalan yang bisa dilalui anak sekolah, jembatan yang aman bagi ibu hamil, dan saluran air yang tidak membanjiri rumah warga. Pembangunan bukan soal pusat, tapi soal menyatukan seluruh wilayah tanpa meminggirkan siapa pun.
Sebagai mahasiswa, saya tidak menulis ini karena benci pada pemerintah daerah. Justru sebaliknya saya ingin Tanjab Barat menjadi rumah besar yang adil, bukan hanya dicat di bagian berandanya saja, tapi juga kuat dan utuh dari dalam. Saya ingin melihat anak-anak di Desa Mendahara bisa sekolah dengan aman tanpa harus menyeberangi jembatan rapuh. Saya ingin melihat UMKM di Desa Teluk Nilau bisa mengirim produk ke kota tanpa terkendala jalan berlumpur.
Jika slogan “BERKAH” benar-benar hendak diwujudkan, maka sudah saatnya pemerintah membuka mata dan telinga. Ketimpangan bukan sekadar statistik, tapi luka yang dirasakan setiap hari oleh warga yang dipinggirkan. Dan pembangunan, semestinya bukan sekadar tumpukan beton di kota, tapi jembatan harapan bagi semua yang tinggal di daerah Kabupaten Tanjung Jabung Barat.
Oleh: Tiara Sabrina – Mahasiswa Ilmu Pemerintahan, Fakultas Hukum, Universitas Jambi


Tinggalkan Balasan