Apakah pembangunan infrastruktur yang dicanangkan benar-benar berbasis mitigasi bencana dan pemulihan ekosistem? Atau malah mengulang pola pembangunan yang eksploitatif dan reaktif?

Sejauh ini, belum tampak keberanian dalam RPJMD untuk secara eksplisit menyentuh persoalan sensitif seperti pengawasan terhadap ekspansi perkebunan sawit yang selama ini menjadi penyumbang kerusakan lingkungan di Sarolangun.

Padahal, banjir dan kerusakan ekologis tidak bisa hanya diselesaikan melalui slogan pembangunan infrastruktur atau pelayanan publik yang cepat tanggap. Diperlukan pendekatan yang lebih ekologis dan berkelanjutan, termasuk implementasi nyata dari kebijakan seperti ISPO dan RAD-KSB.

Di sisi lain, komitmen pada “pelayanan publik yang berorientasi cepat dan berakhlak” hanya akan menjadi jargon jika tidak disertai reformasi birokrasi secara menyeluruh. Masyarakat Sarolangun membutuhkan pemerintahan yang responsif, transparan, dan benar-benar hadir menyelesaikan persoalan rakyat kecil—bukan hanya sibuk menyusun dokumen, rapat koordinasi, dan seremonial formal.

Baca juga:  70 Tahun Konferensi Asia-Afrika: Menyalakan Kembali Semangat Bandung untuk Transisi Energi Berkeadilan

Akhirnya, kita sebagai masyarakat sipil, termasuk kalangan mahasiswa, harus mengawal RPJMD ini agar tidak menjadi dokumen elitis yang hanya diketahui oleh segelintir pejabat. RPJMD harus dibuka secara luas untuk publikasi dan kritik. Rencana yang baik adalah rencana yang hidup dalam partisipasi masyarakat, bukan yang mati di meja birokrasi.

RPJMD adalah janji. Tapi janji itu hanya akan bermakna jika ditepati melalui kerja nyata dan keberanian menghadapi kenyataan. Jika tidak, maka RPJMD Sarolangun 2025–2029 hanya akan menjadi catatan panjang dari daftar mimpi yang tidak pernah terwujud.

Penulis : Muhammad Okta Prihatin | Mahasiswa Fakultas Hukum, Universitas Jambi