Oleh : Dian Purwanti

TANYAFAKTA.CO Pemerintah Indonesia menargetkan pertumbuhan ekonomi sebesar 5% pada tahun 2025, sebuah target yang bisa dibilang cukup ambisius, terutama di tengah situasi global yang serba tidak pasti.

Krisis politik global yang belum mereda, tekanan inflasi yang masih terasa, serta melambatnya ekonomi negara-negara mitra dagang utama menjadi tantangan nyata yang harus dihadapi untuk mencapai sasaran tersebut.

Di tengah situasi tersebut, memperkuat konsumsi rumah tangga menjadi salah satu kunci untuk menjaga laju pertumbuhan ekonomi.

Hal ini sangat masuk akal, mengingat konsumsi rumah tangga menyumbang lebih dari setengah total Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia. Pada kuartal I 2025, konsumsi rumah tangga tumbuh 4,89% dan berkontribusi sebesar 54,53% terhadap perekonomian, menjadikannya motor utama penggerak ekonomi dalam negeri.

Baca juga:  Verifikasi Bukan Legitimasi Monopoli Ruang Publik

Namun demikian, kemampuan masyarakat untuk membelanjakan uangnya atau yang kita sebut daya beli sedang mengalami tekanan. Kenaikan harga kebutuhan pokok, ketimpangan pendapatan antar kelompok masyarakat, serta lambatnya pemulihan ekonomi pasca pandemi menjadi sejumlah tantangan yang harus dihadapi.

Harga kebutuhan pokok yang perlahan tapi pasti terus naik, ketimpangan pendapatan yang masih terasa lebar, serta pemulihan ekonomi yang belum menyentuh semua kalangan terutama para pekerja informal, membuat tekanan terhadap daya beli masyarakat semakin terasa di kehidupan sehari-hari.

Meskipun data makro ekonomi menunjukkan pertumbuhan yang stabil dan inflasi yang relatif terkendali, kenyataan di lapangan berkata lain. Masih banyak keluarga yang harus menghitung ulang setiap pengeluaran, bahkan untuk kebutuhan dasar seperti membeli sembako atau membayar tagihan bulanan. Dari sini kita bisa melihat, bahwa kekuatan konsumsi rumah tangga bukan sekadar urusan kebutuhan sehari-hari, tapi berperan besar dalam menjaga ekonomi tetap tumbuh.

Baca juga:  Transformasi Sistem Pembayaran Digital: Peran QRIS dalam Mendorong Transaksi Lintas Batas

Menurut pandangan ekonomi Keynesian, ketika masyarakat lebih banyak membelanjakan uangnya, hal itu akan mendorong roda perekonomian bergerak lebih cepat. Permintaan terhadap barang dan jasa meningkat, sehingga pelaku usaha baik kecil maupun besar terdorong untuk menambah produksi.

Untuk memenuhi permintaan itu, pelaku usaha pun membuka lebih banyak lapangan kerja. Dari sinilah muncul efek berantai atau multiplier effect, yaitu ketika belanja awal yang dilakukan masyarakat menghasilkan pertambahan pendapatan nasional yang jauh lebih besar. Singkatnya, konsumsi yang kuat bisa menjadi pemicu utama pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan.

Untuk menjaga agar konsumsi masyarakat tetap terjaga apalagi di tengah tekanan ekonomi yang belum sepenuhnya pulih pemerintah mengambil berbagai langkah yang langsung terasa dalam kehidupan sehari-hari. Salah satunya adalah penyaluran Bantuan Sosial Tunai (BST) dan Bantuan Langsung Tunai (BLT) kepada keluarga berpenghasilan rendah.

Baca juga:  Menyikapi Kebijakan Penghentian SKTM: Antara Regulasi dan Keadilan Sosial di Jambi

Bagi banyak keluarga, BLT menjadi semacam nafas tambahan di tengah penghasilan yang tak menentu.  Program bantuan tunai ini menjadi bentuk nyata perhatian pemerintah kepada kelompok masyarakat yang paling rentan.

Dan justru dari merekalah denyut ekonomi nasional banyak bergantung. Ketika daya beli kelompok ini terjaga, warung tetap ramai, pasar tetap hidup, dan roda ekonomi bisa terus berputar. Sebab pada akhirnya, kekuatan ekonomi Indonesia memang banyak digerakkan dari rumah-rumah sederhana di pelosok kota dan desa.