Langkah pemisahan pemilu ini membawa serta harapan besar untuk perbaikan. Pertama, efisiensi dab fokus penyelenggara akan meningkat drastis. KPU dapat mencurahkan energinya pada satu jenis pemilu dalam satu waktu, yang berpotensi menghasilkan proses yang lebih rapi, akurat, dan minim kesalahan. Kualitas data pemilih, distribusi logistik, hingga rekapitulasi hasil akan lebih terjaga. Harapannya, ini akan meminimalisir maladministrasi yang seringkali memicu polemik pasca-pemilu.

Kedua, bagi pemilih, proses ini akan jauh lebih sederhana. Dengan tidak lagi harus mencoblos banyak surat suara secara bersamaan, mereka dapat lebih fokus pada isu-isu dan kandidat yang relevan di setiap tingkatan pemilihan. Ini berpotensi meningkatkan kualitas keputusan pemilih dan bukan hanya sekadar partisipasi angka.

Lebih dari itu, pemisahan ini diyakini akan memperkuat sistem presidensial dan memberikan ruang lebih bagi pemilihan legislatif serta lokal untuk mendapatkan perhatian yang proporsional. Seperti yang pernah dikaji oleh Ibnu Tricahayo dalam bukunya “Reformasi Pemilu: Menuju Pemisahan Pemilu Nasional dan Lokal” (2009), gagasan ini telah lama menjadi bagian dari diskursus reformasi manajemen pemilu di Indonesia.

Baca juga:  APBD Jambi dan Batu Bara Etalase Gagal Paham yang dipertontonkan

Selanjutnya Prof. Dr. Didik Supriyanto seorang ahli tata negara dari Universitas Gadjah Mada, berkeyakinan Pemisahan pemilu ini adalah langkah progresif untuk mengembalikan esensi pemilihan, di mana pemilih benar-benar mempertimbangkan rekam jejak dan visi misi kandidat di setiap tingkatan, bukan sekadar ikut-ikutan atau terbawa arus kampanye presiden.”

Namun, setiap perubahan besar pasti diiringi tantangan. Peningkatan biaya penyelenggaraan pemilu adalah konsekuensi yang tak terhindarkan, mengingat akan ada dua kali proses besar yang membutuhkan anggaran, logistik, dan sumber daya terpisah.

Risiko penurunan partisipasi pemilih akibat “pemilu fatigue” juga patut diwaspadai, terutama jika jeda waktu antara pemilu nasional dan lokal dirasa terlalu pendek. Transisi ini juga menuntut kerja keras dari DPR dan Pemerintah untuk segera mengharmonisasi regulasi yang ada, mengisi kekosongan hukum, dan memastikan tidak ada tumpang tindih masa jabatan kepala daerah yang tersisa.

Baca juga:  DPR RI Tetap Sahkan RUU TNI Jadi UU Walau di Tolak Rakyat, Pengamat : Jauh dari Marwah Reformasi 98

Dalam hal ini Ratnia Solihah, dalam JIIP: Jurnal Ilmiah Ilmu Pemerintahan, Volume 3, Nomor 1 (2018), meskipun membahas pemilu serentak, secara implisit menyoroti bahwa tujuan pemilu yang adil dan berintegritas adalah untuk menciptakan pemerintahan yang lebih kuat dan legitimasi yang kokoh. Pemisahan pemilu dapat menjadi jalan mencapai tujuan tersebut melalui efisiensi yang lebih baik, meskipun tantangan implementasi akan selalu ada.

Pada akhirnya, putusan MK ini adalah sebuah kesempatan. Ia bukan sekadar perubahan teknis dalam kalender politik, melainkan sebuah upaya kolektif untuk menyempurnakan sistem demokrasi kita. Masa depan pemilu yang lebih efisien, partisipatif, dan berintegritas kini berada di tangan para pembuat kebijakan dan penyelenggara.

Baca juga:  Terkait KONI, Dr. Pahrudin: Pejabat Publik Fokus Pada Tugas Utamanya

Dengan perencanaan yang matang, sosialisasi yang masif, dan komitmen seluruh pihak, harapan untuk menata ulang demokrasi Indonesia menuju arah yang lebih baik bukanlah sekadar impian, melainkan tujuan yang dapat dicapai. Kita patut menantikan bagaimana Indonesia melangkah maju di panggung demokrasi global, dengan pemilu yang tidak hanya menjadi pesta, tetapi juga fondasi kokoh bagi tata kelola negara yang efektif dan berpihak pada rakyat.

Penulis : Pengamat Ekonomi dan Politik