Oleh : Dr. Noviardi FerziĀ 

TANYAFAKTA.CO Pada 6-7 Juli 2025, Rio de Janeiro, Brasil menjadi saksi pertemuan penting: Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) BRICS. Hadirnya Presiden Republik Indonesia, Prabowo Subianto, di sana bukan sekadar kehadiran biasa. Ini adalah momen bersejarah, menandai pertama kalinya Indonesia berpartisipasi sebagai anggota penuh BRICS.

KTT BRICS ini bukan cuma ajang kumpul-kumpul; ia adalah panggung yang berpotensi mengubah wajah dunia, baik secara politik maupun ekonomi. Dengan makin banyaknya negara yang bergabung – sebut saja anggota baru seperti Arab Saudi, Uni Emirat Arab, Mesir, Ethiopia, dan Iran di awal 2024, dan kemungkinan akan ada lagi di 2025 – BRICS kini telah bertransformasi. Ia tak lagi sekadar forum obrolan, melainkan kekuatan nyata yang berpotensi membentuk ulang tatanan global. Dampaknya, secara langsung atau tidak, akan terasa di mana-mana, termasuk di Indonesia. Di sinilah peran kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto begitu krusial.

Baca juga:  Manifesto Kedaulatan Imperatif Nusantara

Dulu, BRICS (Brasil, Rusia, India, Tiongkok, dan Afrika Selatan) punya visi sederhana: menciptakan dunia yang lebih seimbang. Kini, dengan masuknya anggota-anggota baru seperti Arab Saudi, Uni Emirat Arab, Mesir, Ethiopia, dan Iran sejak awal 2024, dan potensi ekspansi di 2025, visi itu makin nyata. BRICS telah menjadi kekuatan penyeimbang yang mampu melawan dominasi kekuatan-kekuatan lama.

Secara ekonomi, kekuatan BRICS memang luar biasa. Bahkan sebelum ekspansi, gabungan Produk Domestik Bruto (PDB) mereka dalam paritas daya beli (PPP) sudah melampaui G7. Dengan anggota baru, kekuatan ini kian melonjak. Arab Saudi, sebagai eksportir minyak terbesar dunia, membawa bobot ekonominya, sementara Uni Emirat Arab hadir sebagai pusat keuangan dan perdagangan yang dinamis.

Data terkini menunjukkan bahwa negara-negara BRICS (termasuk anggota baru) secara kolektif menyumbang lebih dari 36% PDB global dan 47% populasi dunia,”. Angka ini terus bertumbuh, menunjukkan potensi pasar internal yang masif serta kemampuan untuk menciptakan rantai pasok baru yang lebih berpusat pada negara-negara Selatan. Salah satu bahasan utama di KTT Brasil adalah “de-dolarisasi” atau upaya mengurangi ketergantungan pada Dolar AS dalam perdagangan internasional. Jika berhasil, langkah ini bisa mengubah dinamika pasar keuangan global secara signifikan. Upaya ini didorong oleh kekhawatiran penggunaan dolar sebagai alat sanksi politik, yang jika berhasil, akan mengurangi kerentanan negara anggota terhadap gejolak Dolar AS dan sanksi ekonomi.

Baca juga:  Efisiensi Anggaran: Seperti ā€œMenelan Pil Pahitā€

Tak hanya itu, New Development Bank (NDB), bank pembangunan yang dibentuk BRICS, menjadi alternatif penting bagi negara-negara berkembang untuk mendapatkan pendanaan infrastruktur. NDB telah menyalurkan miliaran dolar untuk proyek-proyek di negara anggotanya, menawarkan sumber pembiayaan yang lebih fleksibel dan berorientasi pada kebutuhan negara-negara Selatan, berbeda dengan institusi keuangan tradisional yang didominasi Barat.

Di ranah politik, BRICS menjadi wadah penting untuk menyuarakan kepentingan negara-negara berkembang dan menuntut reformasi tata kelola global. Mereka secara konsisten menyerukan reformasi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), termasuk Dewan Keamanan, agar lebih mencerminkan realitas geopolitik abad ke-21 yang multipolar. BRICS juga aktif berperan dalam isu-isu global seperti perubahan iklim, perdamaian, dan keamanan internasional, seringkali dengan pendekatan yang berbeda dari blok-blok Barat.

Baca juga:  Presiden Prabowo Dorong Penguatan Multilateralisme dan Kemitraan Ekonomi Global South di KTT BRICS 2025

Perluasan BRICS ini juga menjadi bukti nyata pergeseran kekuasaan ekonomi dan politik dari Barat ke Timur dan Selatan.” Ini bukan lagi sekadar klub, melainkan blok yang semakin solid dengan ambisi besar. Mereka mendorong diplomasi yang lebih inklusif dan bahkan berani menantang dominasi satu atau dua kekuatan saja. Keberanian BRICS untuk mengusulkan mata uang cadangan selain Dolar AS dan membangun sistem pembayaran lintas batas yang lebih mandiri adalah cerminan dari keinginan kuat mereka untuk menciptakan aturan main internasional yang lebih adil dan sesuai dengan kepentingan bersama.