TANYAFAKTA.CO – Gerry Trisatwiyaka pernah menjadi euforia. Sosoknya yang muda, enerjik, dan penuh retorika segar menjadi oase dalam padang politik Sarolangun yang selama ini didominasi figur tua. Ia datang dalam Pilkada 2024 membawa harapan baru—menjual semangat generasi muda, menyentuh keresahan kaum milenial, dan tampil sebagai “jembatan generasi” antara rakyat dan negara. Dengan usia yang masih muda dan narasi yang progresif, ia berhasil meraup simpati pemilih pemula dan kaum muda perkotaan hingga desa.
Tapi ternyata, tidak semua simbol harapan mampu menjelma menjadi alat perjuangan. Beberapa bulan setelah dilantik sebagai Wakil Bupati Sarolangun periode 2025–2031, atmosfer yang dulu ia bangun perlahan memudar. Retorika anak muda yang digemakan selama kampanye kini hanya tinggal arsip video dan potongan pidato di media sosial. Semangat perubahan yang dulu menyala berubah menjadi dingin, formal, birokratis, bahkan membosankan.
Ia yang dulu lantang berbicara tentang “partisipasi pemuda”, kini sulit ditemui di ruang-ruang tempat pemuda berbicara. Ia yang dulu hadir nongkrong bersama komunitas seni, kini lebih sering terlihat dalam acara seremoni bersama elite. Bahkan organisasi-organisasi kepemudaan di Sarolangun yang selama ini menjadi pilar pendidikan politik generasi muda, merasa asing dengan kehadirannya. Seakan-akan setelah memenangkan suara pemuda, Gerry merasa cukup.
Tak ada program unggulan yang jelas dan terukur untuk anak muda. Tak ada rumah inovasi, tak ada inkubasi kewirausahaan, tak ada konsolidasi sistematis antara pemerintah dengan komunitas pemuda. Padahal, dalam data BPS tahun 2024, lebih dari 57% populasi produktif di Sarolangun adalah generasi muda berusia 16–35 tahun. Artinya, lebih dari setengah denyut pembangunan Sarolangun berada di pundak anak muda. Tapi mereka justru jadi penonton. Yang diundang rapat hanya segelintir. Yang diberi ruang hanya mereka yang patuh. Yang dikasih panggung hanya yang diam.
Gerry hari ini seperti menjadi replika para pendahulunya—gagap pada gagasan, lamban pada terobosan, dan terlalu nyaman dengan kekuasaan. Ia menjadi muda hanya karena umur, tapi tidak muda dalam ide dan aksi. Bahkan lebih kaku dari politisi tua yang ia kritisi dahulu. Ia menjadi produk dari sistem yang ingin ia ubah.


Tinggalkan Balasan