Empat taman nasional Bukit Duabelas, Bukit Tigapuluh, Berbak-Sembilang, dan Kerinci Seblat menjadi tulang punggung ekologis provinsi. Berdasarkan data dari Dinas Kehutanan Provinsi Jambi (2024), luas total kawasan konservasi ini mencapai sekitar 2,1–2,3 juta hektare, yang meliputi zona inti dan penyangga serta berperan sebagai penyimpan karbon, pelindung biodiversitas, dan pengatur iklim lokal (ANTARA News Jambi)
Salah satu contohnya, Taman Nasional Bukit Duabelas memiliki luas resmi antara 50.500–60.500 ha, mencakup Kabupaten Sarolangun, Bungo, Tebo, dan Batanghari. Di dalamnya tinggal komunitas Orang Rimba, dan kawasan ini tetap menyimpan keanekaragaman tumbuhan obat dan flora langka seperti jelutung, jernang, dan rotan (kompas.id).
Meskipun memiliki status perlindungan, kawasan konservasi ini menghadapi ancaman serius. Taman Nasional Bukit Duabelas, habitat Orang Rimba, terancam perambahan dan pembalakan liar. Bukit Tigapuluh, rumah bagi harimau dan gajah liar, kini menjadi episentrum konflik akibat konversi lahan. Taman Nasional Berbak, sebagai kawasan gambut, berisiko tinggi terhadap kebakaran dan emisi karbon. Taman Nasional Kerinci Seblat, yang menjadi bagian dari UNESCO Tropical Rainforest Heritage of Sumatra, juga merupakan kawasan rawan longsor dan gempa bumi. Laporan BPBD Jambi (2023) menyebutkan bahwa lebih dari 60% bencana alam di Jambi terjadi di kawasan konservasi atau penyangganya.
Potensi Konflik Spasial: Ketika Fungsi Saling Bertabrakan
Di balik perencanaan kawasan yang secara teoritis tampak tersegmentasi dengan baik, realitas di lapangan menunjukkan potensi konflik spasial yang signifikan di Provinsi Jambi. Berbagai kawasan dengan fungsi berbeda seperti konservasi, pertumbuhan ekonomi, energi, pertanian, dan pariwisata saling bersinggungan secara spasial maupun kepentingan, sehingga menciptakan potensi konflik tata ruang.
Misalnya, kawasan konservasi seperti Taman Nasional Bukit Duabelas dan Bukit Tigapuluh sering mengalami tumpang tindih fungsi dengan zona perkebunan sawit, tambang ilegal, serta pemukiman transmigrasi. Taman Nasional Bukit Duabelas, yang menjadi habitat utama Orang Rimba, menghadapi tekanan akibat perluasan kebun oleh masyarakat maupun perusahaan. Di sisi lain, Taman Nasional Berbak, yang merupakan lahan gambut dengan cadangan karbon tinggi, terus mengalami kebakaran akibat praktik pembukaan lahan, terutama saat kemarau panjang yang dipicu fenomena El Niño.
Konflik serupa juga muncul di kawasan pariwisata unggulan seperti Candi Muaro Jambi, yang menghadapi ancaman dari industri batubara, minyak sawit dan cangkang sawit, pemukiman, dan aktivitas ekonomi informal yang belum terkendali. Meskipun situs ini telah diusulkan sebagai Warisan Dunia UNESCO, pertumbuhan ekonomi di sekitarnya justru sering mengabaikan batas perlindungan kawasan. Proses urbanisasi dan ekspansi komersial kerap bertabrakan dengan upaya pelestarian budaya dan arkeologi.
Kawasan pengembangan energi terbarukan seperti PLTS dan biomassa di cekungan Batanghari pun tidak lepas dari gesekan kepentingan. Penggunaan lahan untuk pembangkit energi sering berbenturan dengan kawasan pertanian pangan dan konservasi ekosistem sungai. Hal serupa terjadi di kawasan Bukit Barisan Tengah, di mana pengembangan mikrohidro dan hortikultura kerap berbagi ruang dengan kawasan rawan longsor dan patahan gempa aktif, khususnya di wilayah Kerinci dan Merangin.
Secara umum, persoalan ini menegaskan bahwa batas administratif tidak selalu sejalan dengan batas ekologis maupun sosial-ekonomi. Sungai Batanghari, sebagai contoh konkret, mengalir dari hulu hingga hilir melewati beberapa kabupaten, tetapi tidak dikelola dalam satu sistem ekoregion terpadu. Akibatnya, kebijakan yang diambil oleh satu daerah bisa menimbulkan dampak ekologis dan sosial bagi wilayah lainnya.
Multi-Level Governance: Menjawab Fragmentasi Spasial secara Sistemik
Menghadapi kompleksitas tata ruang dan konflik pemanfaatan lahan di Provinsi Jambi, pendekatan multi-level governance menjadi kebutuhan mendesak. Pendekatan ini tidak hanya menuntut sinergi antar-level pemerintahan dari pusat hingga kabupaten/kota tetapi juga menekankan pentingnya pelibatan aktor non-pemerintah seperti masyarakat adat, komunitas lokal, sektor swasta, dan LSM. Tanpa koordinasi vertikal-horisontal yang efektif, setiap program pembangunan berisiko berjalan sendiri-sendiri dan menciptakan tumpang tindih kewenangan serta ketimpangan manfaat.
Dalam pengelolaan kawasan konservasi, misalnya, peran KLHK harus sejalan dengan perencanaan daerah (RPJMD) dan aspirasi masyarakat adat seperti Orang Rimba. Sementara dalam pengembangan Peremajaan Sawit Rakyat (PSR) dan hilirisasi komoditas unggulan, diperlukan sinergi antara pemerintah daerah, koperasi petani, dan kementerian teknis agar rantai nilai bisa diperkuat dari hulu ke hilir.
Untuk mendukung tata kelola semacam ini, ada tiga prasyarat yang tak bisa ditunda. Pertama, penguatan sistem informasi geospasial melalui penerapan One Map Policy secara menyeluruh menjadi fondasi utama dalam menyelesaikan persoalan spasial. Sinkronisasi tidak hanya dibutuhkan antar-kementerian dan pemerintah provinsi, tetapi juga harus mencakup penyelarasan RTRW antara provinsi dan kabupaten/kota. Integrasi spasial lintas level pemerintahan sangat krusial, terutama bagi kabupaten-kabupaten yang berada dalam lebih dari satu zona fungsi, seperti Batanghari, Merangin, dan Muaro Jambi. Prinsipnya sederhana: satu peta, satu data, satu keputusan. Tanpa peta tunggal yang konsisten dan terverifikasi, tumpang tindih fungsi ruang akan terus terjadi dan memperbesar potensi konflik antarwilayah maupun antaraktor.
Kedua, pelibatan aktif masyarakat, terutama petani, komunitas adat, dan pelaku usaha lokal, harus dilakukan sejak tahap perencanaan hingga pengawasan. Mereka bukan hanya objek kebijakan, tetapi subjek penting dalam keberlanjutan ruang hidup dan ekonomi lokal.
Ketiga, Provinsi Jambi harus membangun kapasitas multi-level governance secara konsisten, yakni tata kelola yang adaptif, kolaboratif, dan lintas sektor. Tanpa itu, integrasi pembangunan antar kawasan hanya akan berakhir pada dokumen konseptual yang tidak mampu mengatasi disrupsi dan dinamika konflik di lapangan.
Dengan demikian, pendekatan multi-level governance bukan hanya kerangka teknokratik, melainkan kebutuhan strategis untuk menghindari fragmentasi, menyatukan perencanaan lintas kawasan, dan memastikan pembangunan Provinsi Jambi berlangsung inklusif, terkoordinasi, dan berkelanjutan.
Penulis : Akademisi UIN STS Jambi
Tinggalkan Balasan