TANYAFAKTA.CO, JAMBI  – Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) menyoroti tajam kebijakan penertiban kawasan hutan yang diatur dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 5 Tahun 2023. Kebijakan yang disebut-sebut sebagai langkah strategis menertibkan usaha ilegal di kawasan hutan itu dinilai menyimpan potensi konflik agraria yang serius.

Dalam pernyataan sikap yang dirilis Senin (22/7/2025), KPA menyebut penggunaan frasa “Setiap Orang” dalam Pasal 2 ayat (2) Perpres tersebut membuka ruang penindakan terhadap masyarakat adat, petani, dan kelompok masyarakat pedesaan yang selama ini hidup dan berkonflik dengan klaim kawasan hutan negara.

Pada Januari 2025, Presiden Prabowo Subianto membentuk Satuan Tugas Penertiban Kawasan Hutan (Satgas PKH). Satu bulan sebelumnya, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) telah menerbitkan Surat Keputusan Nomor 36/2025 yang mencantumkan 436 subjek yang akan ditertibkan dengan total luas mencapai 790.474 hektare.

Baca juga:  Ditjen Gakkum KLHK Awasi Tambang Nikel di Kawasan Hutan Raja Ampat

Lima bulan berselang, Satgas PKH mengklaim telah menertibkan dua juta hektare lahan usaha ilegal milik perusahaan sawit, kayu, dan tambang. Namun, KPA menyoroti tidak adanya kejelasan lokasi penertiban tersebut.

“Kebijakan ini berpotensi menjadi pisau bermata dua jika keliru menentukan objek dan peruntukannya di lapangan,” ujar Roni Septian Maulana (Kadep Advokasi Kebijakan dan Pengembangan Jaringan KPA) dalam keterangan tertulis yang diterima oleh TanyaFakta.co pada Selasa, (22/7/2025).

Menurutnya,  jika tanah yang ditertibkan disalurkan kepada petani, buruh tani, masyarakat adat, nelayan, dan perempuan, maka langkah tersebut akan sejalan dengan tujuan reforma agraria. Namun sebaliknya, jika tanah-tanah tersebut dikembalikan kepada korporasi lain, maka kebijakan itu justru akan memperburuk konflik agraria yang ada.

Baca juga:  Polda Jambi Gelar FGD Peringatan HTN 2025, Petani Soroti Kinerja Satgas PKH

Kekhawatiran itu, lanjut KPA, didasari pada temuan Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2019 yang menunjukkan terdapat 42.471 desa berada di dalam atau sekitar kawasan hutan yang diklaim negara. Jika satu desa dikategorikan sebagai kawasan hutan, maka izin usaha dapat diberikan kepada perusahaan, dan berpotensi memperdalam ketimpangan penguasaan lahan antara masyarakat dan korporasi.

“Bahkan sensus pertanian 2023 mencatat 2,19 juta petani gurem tinggal di wilayah klaim kehutanan. Ini belum termasuk pembangunan pemerintah yang terhambat karena lokasi berada di kawasan hutan tanpa izin,” ungkap Roni

KPA juga mengkritik pendekatan militeristik dalam struktur Satgas PKH. Ketua dan wakilnya berasal dari Kementerian Pertahanan, TNI, dan Polri yang dinilai tidak memiliki pemahaman mendalam mengenai akar persoalan agraria.

Baca juga:  Panen Perdana Kelapa Sawit, Gubernur Jambi Apresiasi Pembukaan Lahan Tanpa Pembakaran

“Pendekatan seperti ini justru menimbulkan rasa takut di tengah masyarakat karena kerap berujung pada tindakan represif,” kata Roni.