Selama satu dekade terakhir, lanjut Roni, KPA mencatat keterlibatan aparat TNI dan Polri dalam konflik agraria telah mengakibatkan kriminalisasi terhadap 2.841 orang, represif terhadap 1.054 orang, penembakan terhadap 88 orang, dan 79 orang tewas.

Di Jambi, KPA menemukan dugaan penyalahgunaan wewenang oleh PT Wira Karya Sakti (WKS), anak perusahaan Sinarmas Group. Satgas PKH disebut digunakan untuk menggusur tanah petani anggota Serikat Tani Tebo (STT) di Desa Lubuk Mandarsah yang telah dihuni sejak tahun 1813. PT WKS baru mengklaim wilayah tersebut pada 2004 setelah mendapatkan izin dari Kementerian Kehutanan.

“Dengan dalih Satgas PKH, WKS hendak merampas 20.660 hektare tanah petani di Kabupaten Tebo,” tuturnya.

Hal serupa diduga terjadi di Kabupaten Batanghari, Tanjung Jabung Barat, Muaro Jambi, dan Sarolangun, di mana plangisasi dan pematokan tanah dilakukan di atas lahan masyarakat. Ironisnya, lahan yang diklaim sebagai kawasan hutan tersebut merupakan bagian dari Lokasi Prioritas Reforma Agraria (LPRA) yang pernah diusulkan kepada pemerintah untuk diselesaikan.

Baca juga:  Laporan Kaoem Telapak Ungkap Ketimpangan Perlindungan CITES dan Perdagangan Ilegal

KPA menilai kebijakan ini bertentangan dengan visi Presiden Prabowo dalam Asta Cita dan RPJMN terkait pelaksanaan reforma agraria dan redistribusi tanah.

“Tanah rakyat justru diambil oleh Menteri Pertahanan, Jaksa Agung dan Menteri Kehutanan untuk diberikan kepada perusahaan,” sebut KPA.

KPA juga menyoroti perubahan mekanisme penetapan kawasan hutan pasca disahkannya Undang-Undang Cipta Kerja. Jika sebelumnya penetapan harus melalui empat tahapan (penunjukan, tata batas, pemetaan, dan penetapan), kini bisa dilakukan sepihak oleh KLHK. Hal ini dinilai memperparah konflik agraria dan membuka ruang baru perampasan tanah.

Sebagai solusi, KPA menegaskan bahwa akar persoalan harus diselesaikan dari kesalahan masa lalu yakni penetapan kawasan hutan yang tidak mempertimbangkan penguasaan masyarakat sebelumnya. Langkah korektif diperlukan dengan mengoreksi batas kawasan, melakukan pendaftaran dan redistribusi tanah.

Baca juga:  Presiden Prabowo Resmikan Groundbreaking Ekosistem Industri Baterai Kendaraan Listrik Terintegrasi di Karawang

Atas dasar itu, KPA bersama Serikat Tani Tebo (STT) dan Persatuan Petani Jambi (PPJ) mendesak Presiden Prabowo Subianto untuk:

  1. Mengevaluasi pelaksanaan Penertiban Kawasan Hutan oleh Satgas PKH secara nasional terutama di Provinsi Jambi;
  2. Mengembalikan tanah dan perkampungan yang diklaim sebagai kawasan hutan kepada Petani, Buruh Tani, Masyarakat Adat, Nelayan dan Perempuan agar selaras dengan tujuan Reforma Agraria;
  3. Memastikan dipenuhinya prinsip kehati-hatian, skala prioritas, transparansi, partisipasi masyarakat secara utuh dalam penentuan objek penertiban oleh Satgas PKH;
  4. Memastikan kebijakan Penertiban Kawasan Hutan (PKH) tidak bertentangan dengan proses penyelesaian konflik agraria dari “klaim” kawasan hutan;
  5. Membentuk Badan Otorita Reforma Agraria (BORA) yang dipimpin langsung oleh Presiden untuk percepatan Reforma Agraria, Kedaulatan Pangan dan Penguatan Ekonomi Kerakyatan; dan
  6. Mengoreksi batas klaim kawasan hutan negara dan izin kehutanan demi memberikan keadilan dan kepastian hukum atas tanah serta perkampungan masyarakat.
Baca juga:  Presiden Prabowo Hadiri Upacara Kenegaraan di Parliament House Singapura

“Kami berharap semua pihak, termasuk jurnalis dan media, turut membantu menyuarakan persoalan ini sebagai bagian dari perjuangan masyarakat atas hak tanahnya,” tutup Roni. (*)