Oleh: Dr. Noviardi Ferzi
TANYAFAKTA.CO – Provinsi Jambi menghadapi tantangan serius dalam tata kelola sektor pertambangan, khususnya batubara, dan perkebunan, terutama sawit. Permasalahan klasik seperti tumpang tindih lahan, kerusakan lingkungan, dan konflik sosial sering kali mencuat (Ekacitra, Novy dkk., 2025).
Lebih dari itu, di bidang infrastruktur, kemacetan parah dan kerusakan jalan umum akibat angkutan batubara telah menimbulkan keprihatinan mendalam, bahkan merenggut korban jiwa. Putra & Lestari (2024) menganalisis secara teknis tingkat kerusakan jalan akibat beban berat angkutan, termasuk batubara. Studi Citra, Hapsa, & Baidawi (2021) juga memperkuat temuan ini, menyoroti kebijakan pemerintah Provinsi Jambi terkait transportasi angkutan batubara.
Dari kalkulasi penulis, berdasarkan estimasi konservatif berdasarkan literatur resmi (BPS, PUPR, Kementerian LHK, WHO, FAO) dan laporan lapangan yang tersedia. Perhitungan ini tak termasuk semua aspek kerugian seperti kerusakan sosial, konflik warga, kerugian ekonomi jangka panjang, dan kerusakan spiritualitas lokal dihitung. Jika dihitung, nilainya bisa jauh lebih besar.
Dari sisi infrastruktur, kerusakan jalan nasional dan provinsi akibat angkutan batubara dan sawit ilegal menyebabkan beban biaya pemulihan sekitar Rp 6,3 triliun, ditambah kerusakan jembatan dan kerugian ekonomi akibat kemacetan yang mencapai Rp 2,2 triliun. Kondisi ini berdampak langsung pada aksesibilitas, logistik, dan keselamatan masyarakat.
Dari aspek lingkungan, kerusakan hutan seluas ratusan ribu hektare akibat PETI dan pembalakan liar menyebabkan hilangnya nilai jasa ekosistem hingga Rp 15 triliun, ditambah pencemaran sungai, kerusakan lahan pertanian, serta hilangnya potensi pajak dan royalti tambang emas ilegal senilai Rp 6 triliun lebih. Pencemaran air oleh merkuri juga menghancurkan sektor pertanian dan perikanan rakyat, serta mengancam keberlanjutan sumber daya alam Jambi dalam jangka panjang.
Sementara itu, dampak kesehatan masyarakat mencakup peningkatan penyakit akibat pencemaran udara dan air, seperti ISPA, penyakit kulit, hingga gangguan pertumbuhan anak. Biaya medis dan sosial dari dampak ini diperkirakan mencapai Rp 7,5 triliun, termasuk kerugian produktivitas masyarakat yang terdampak. Ketiga aspek ini menunjukkan bahwa kejahatan lingkungan tidak hanya merusak alam, tetapi juga menyedot sumber daya ekonomi dan memperparah kemiskinan struktural masyarakat di sekitar wilayah terdampak.
Direktur Komunitas Konservasi Indonesia (KKI) Warsi, menyatakan bahwa kondisi ini seharusnya menjadi pelajaran berharga bagi pemerintah daerah Jambi agar lebih serius mengelola dan menjaga kelestarian sumber daya alamnya. Jika tidak, potensi kerugian negara akan semakin besar setiap tahunnya. KKI Warsi mencatat empat kejahatan lingkungan terbesar di Jambi: pengeboran minyak ilegal, tambang emas ilegal (PETI), pembakaran hutan dan lahan, serta pembalakan liar. Selain hilangnya potensi pendapatan negara, kerugian akibat kerusakan lingkungan dan ancaman kesehatan warga bisa jauh lebih besar.
Maraknya tambang ilegal dan pelanggaran tata kelola ini bukan tanpa sebab. Ketua Umum Perhimpunan Ahli Pertambangan Indonesia (Perhapi) Sudirman Widhy (Setiawan, 2025) menyebut praktik ini masih terus muncul, menimbulkan prasangka adanya “bekingan” dari oknum tertentu.
Sementara itu, Ketua Badan Kejuruan (BK) Pertambangan Persatuan Insinyur Indonesia (PII) Rizal Kasli (Setiawan, 2025) menegaskan bahwa faktor utama maraknya tambang ilegal adalah kesulitan ekonomi masyarakat, tingginya pengangguran, lemahnya pengawasan, dan tidak tegasnya penegakan hukum. Ironisnya, praktik ini kerap mendapat perlindungan dari oknum aparatur negara. Direktur Eksekutif Center of Economics and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira (Setiawan, 2025) menambahkan, masalah ini juga muncul karena adanya pembiaran sistemik, minimnya kapasitas pengawasan pemerintah pusat pasca-UU Cipta Kerja, serta keterlibatan aktor-aktor lokal yang menjadi beking bagi kegiatan tambang ilegal.
Maraknya tambang ilegal di Provinsi Jambi mencerminkan dinamika sosial-ekonomi kompleks di balik daya tarik emas yang melimpah. Di tengah hutan lebat dan sungai yang dulunya jernih, kini ekskavator dan mesin dompeng terus menggali perut bumi tanpa izin. Aktivitas PETI yang tersebar di Merangin, Sarolangun, dan Bungo, menjadi fenomena sosial sekaligus krisis ekologis. Masyarakat yang terlibat seringkali bukan sekadar pelaku kriminal, melainkan korban dari sistem sosial dan ekonomi yang pincang, hidup dalam kemiskinan, dan merasa tak punya pilihan selain menambang untuk bertahan hidup.
Laporan Jambisatu.id (2025) menunjukkan peningkatan mengkhawatirkan luas wilayah terdampak PETI, mencapai 52.059 hektare pada 2024, naik signifikan dari 48.140 hektare pada 2023. Sarolangun dan Merangin tercatat sebagai daerah dengan tingkat kerusakan tertinggi (KKI Warsi). Catatan Media mengungkapkan bahwa aktivitas PETI tidak hanya melibatkan masyarakat biasa, tetapi juga diduga dibekingi oleh aparat dan tokoh masyarakat lokal (JambiLINK.id, 2025), mengindikasikan kelemahan pengawasan negara yang memberi ruang bagi praktik ilegal.
Penelitian Junaidi (2022) menunjukkan bahwa PETI memberikan dampak beragam. Di satu sisi, PETI membuka peluang ekonomi bagi masyarakat dengan keterbatasan akses modal dan teknologi. Peningkatan pendapatan dari penyewaan lahan atau pekerjaan baru dilaporkan di sekitar wilayah tambang, berpotensi positif bagi pembangunan infrastruktur lokal dan pemberdayaan ekonomi wilayah. Namun, ironisnya, data Badan Pusat Statistik Provinsi Jambi (2023) mencatat bahwa wilayah seperti Merangin dan Sarolangun memiliki angka kemiskinan relatif tinggi (14–18 persen), jauh di atas rata-rata provinsi. Tanah yang kaya sumber daya justru dihuni masyarakat miskin yang kesulitan memenuhi kebutuhan dasar.
Di sisi lain, PETI menyebabkan penyusutan kawasan hutan Jambi dari 3,8 juta hektare menjadi sekitar 2,1 juta hektare. Analisis citra satelit KKI Warsi menunjukkan hanya sekitar 900 ribu hektare hutan tersisa, setara 18 persen dari total wilayah Jambi. Aktivitas ilegal ini tidak hanya merusak hutan dan lahan pertanian, tetapi juga mulai menjangkau permukiman penduduk, serta menggerus ekosistem di sepanjang alur dan sempadan sungai hingga ke hulu akibat praktik penambangan yang tak terkendali (Kompas.com, 2024).
Pasca-pandemi COVID-19, banyak warga kehilangan pekerjaan. Sektor formal ambruk, dan bantuan sosial tak cukup menopang kebutuhan rumah tangga. Dalam situasi ini, tambang ilegal menjadi jalan pintas. Meskipun risikonya besar, dorongan ekonomi lebih kuat daripada kekhawatiran hukum atau lingkungan. Mereka merasa harus menyelamatkan diri sendiri, walau melalui jalur ilegal, karena negara tak hadir menyelamatkan. Namun, justifikasi PETI sebagai solusi darurat kemiskinan patut dipertanyakan. Aktivitas ini tidak hanya menghancurkan ekosistem hutan dan mencemari sungai dengan merkuri, tetapi juga merampas masa depan generasi berikutnya. Sungai Batanghari, sumber air ribuan orang, kini tercemar berat. Warga mengeluh gatal-gatal, ikan menghilang, dan lahan pertanian rusak. Jangka panjang, kerusakan ekologis ini bisa menjadi bencana yang lebih besar dari kemiskinan itu sendiri.
PETI juga membawa konsekuensi sosial besar. Konflik antarwarga sering terjadi akibat persaingan lahan. Pekerja musiman dari luar daerah menimbulkan ketegangan budaya dan sosial. Di beberapa titik, muncul praktik perbudakan dengan upah rendah, jam kerja tak manusiawi, dan minimnya perlindungan keselamatan kerja. Ketika negara absen, hukum rimba berlaku: yang kuat menguasai, yang lemah terpinggirkan. Hukum tak lagi panglima, melainkan komoditas yang bisa dibeli. Masalah ini dapat dilihat dari sudut pandang geografi manusia, sebagaimana dijelaskan Claval (2001), bahwa ruang bukan sekadar tempat atau lokasi fisik, melainkan terbentuk dari hubungan antara manusia, sumber daya, dan sistem sosial yang ada.
Dalam geografi manusia, ruang dipahami sebagai hasil interaksi kekuasaan dan cara sumber daya didistribusikan. Di Jambi, wilayah pedalaman yang kaya mineral justru menjadi sasaran eksploitasi karena negara tidak mampu mengatur dan membagi hasil sumber daya secara adil. Akibatnya, masyarakat setempat terpaksa memanfaatkan ruang tersebut secara ilegal karena tidak ada akses ke ruang-ruang legal.
Meskipun dihadapkan pada tantangan besar, optimisme untuk membenahi tata kelola ini harus terus dipupuk. Jambi memiliki potensi besar untuk mengatasi kompleksitas ini. Kuncinya terletak pada kemauan semua pihak untuk “duduk bareng” dan mencari solusi bersama, didukung oleh kerangka hukum yang telah ada.
Selama ini, permasalahan di sektor pertambangan dan perkebunan seringkali dianggap isu sektoral yang penyelesaiannya hanya di tangan satu atau dua instansi. Padahal, akar masalahnya begitu dalam dan multidimensional, mencakup aspek ekonomi, sosial, lingkungan, dan hukum. Oleh karena itu, pendekatan parsial tidak akan efektif. Yang dibutuhkan adalah kolaborasi holistik antara berbagai pemangku kepentingan (pemerintah daerah, dinas terkait, pelaku usaha, masyarakat adat, organisasi masyarakat sipil, akademisi, dan media massa) dengan dukungan penuh dari Aparat Penegak Hukum (APH), serta pemanfaatan optimal regulasi yang telah ditetapkan.
Menurut Ekacitra, Novy dkk. (2025), kewenangan pemerintah daerah dalam mengatur kewajiban perusahaan tambang batubara terkait infrastruktur jalan umum dan jalan khusus telah diatur dengan jelas dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, khususnya Pasal 12 ayat (2) huruf i, dan diperinci dalam Peraturan Pemerintah Nomor 96 Tahun 2021. Studi oleh Ekacitra (2025) secara spesifik membahas pemanfaatan jalan umum untuk angkutan batubara di Provinsi Jambi, menyoroti ketidakseimbangan antara kepentingan ekonomi dan kepentingan publik yang perlu diatasi.
Persoalannya kini terletak pada implementasi dan penegakan. Siregar (2025) dalam penelitiannya menyoroti koordinasi pemerintahan yang masih perlu diperkuat dalam menyelesaikan mobilisasi angkutan tambang batubara di Provinsi Jambi, mengindikasikan bahwa sinergi antarlembaga menjadi krusial. Tantangan serupa juga terlihat dalam penanganan tambang ilegal, di mana Direktur Eksekutif IMA Hendra Sinadia (Setiawan, 2025) menyatakan bahwa meskipun upaya penanganan telah banyak dilakukan, memberantasnya hingga nol masih menjadi harapan besar, terutama dengan adanya pembentukan Ditjen Gakkum di Kementerian ESDM.
Karim (2024) juga menyoroti kebijakan kuota produksi dan transportasi batubara di Jambi dari aspek pelayanan masyarakat, yang menekankan pentingnya respons pemerintah terhadap dampak sosial yang ditimbulkan.
Peran APH, mulai dari kepolisian, kejaksaan, hingga lembaga peradilan, menjadi krusial dalam upaya penegakan hukum dan menciptakan kepastian, terutama dalam menghadapi praktik tambang ilegal yang merugikan negara triliunan rupiah dan merusak lingkungan. Tanpa ketegasan APH, setiap kesepakatan atau kebijakan yang lahir dari forum kolaborasi akan rentan terhadap pelanggaran. Rizal Kasli (Setiawan, 2025) bahkan menyebut bahwa praktik tambang ilegal sulit diberantas karena dana besar yang bermain dan adanya pemodal (cukong) serta jaringan perdagangan yang kuat. APH tidak hanya berperan dalam penindakan, tetapi juga dalam upaya pencegahan, edukasi hukum, dan mediasi konflik.
Tinggalkan Balasan