TANYAFAKTA.CO, SAMARINDA – Marhaenisme, ideologi yang digagas Bung Karno untuk membela rakyat kecil dan melawan keserakahan kapitalisme, kembali digelorakan oleh politisi senior PDI Perjuangan, Izedrik Emir Moeis, melalui peluncuran bukunya yaitu Marhaenisme: Visi Sosialisme Indonesia pada Senin (11/8/2025) malam di Cafe Vlory Samarinda.
Dalam buku berwarna merah-putih tersebut, Emir menegaskan marhaenisme sebagai jalan perjuangan melawan sistem ekonomi yang hanya menguntungkan segelintir elit. Ia mengaku prihatin generasi muda Indonesia kini minim pengetahuan tentang ajaran politik dan ideologi Soekarno akibat 32 tahun proyek politik Desukarnoisasi Orde Baru.
“Soekarno diagungkan sebagai pahlawan, tapi pemikirannya justru disingkirkan. Padahal Pancasila yang kita anut juga bersumber dari marhaenisme,” ujar Emir.
Dalam sesi diskusi bersama para kader GPM Kaltim, mahasiswa, dan akademisi, Ia menuturkan bahwa marhaenisme adalah ideologi khas Indonesia yang berpijak pada kedaulatan rakyat, memadukan beberapa prinsip liberalisme, namun tetap teguh dalam sistem demokrasi.
Ia dengan tegas menolak stigma yang mengaitkan marhaenisme dengan PKI.
“Itu propaganda Orde Baru dan Barat. PKI itu satu hal, marhaenisme hal lain. Bahkan di marhaenisme kita tetap mengadopsi demokrasi,” tegasnya.
Ketua Umum Gerakan Pemuda Marhaenis (GPM) itu menyebutkan bahwa penyingkiran ajaran Bung Karno tersebut disebabkan adanya kepentingan kapitalis internasional yang ingin menguasai kekayaan Indonesia, mulai dari tambang nikel hingga Freeport.
Juga kudeta politik terhadap Soekarno, menurutnya, dibarengi upaya sistematis membusukkan ajarannya, yang diperkuat Orde Baru lewat propaganda anti-Sukarno.
“Lucunya, Pancasila diagungkan, tapi penggalinya justru dicap pengkhianat bangsa lewat TAP MPRS Nomor 33. Itu tidak masuk akal,” tegasnya.
Emir Moeis menegaskan bahwa gagasan bernegara Soekarno berbeda jauh dengan Marxisme yang dirumuskan Karl Marx. Menurutnya, Soekarno menempatkan persatuan nasional di atas segalanya.
“Soekarno melihat Marhaenisme sebagai ideologi yang menempatkan persatuan bangsa di urutan pertama. Itulah sebabnya, ketika beliau berpidato tentang Pancasila pada 1945, sila pertama yang disebut adalah Persatuan Indonesia,” ujar Emir Moeis.
Ia menjelaskan, sebelum kemerdekaan 1945, persatuan Indonesia dikenal dengan istilah nasionalisme. Sementara itu, Marxisme yang berkembang kala itu tidak mengenal nasionalisme, melainkan mengedepankan internasionalisme.
“Perbedaan besar antara Soekarno dan Marxisme ada di sini. Marxisme hanya mengenal internasionalisme, sedangkan Soekarno menjunjung nasionalisme,” tambahnya.
Meski demikian, Soekarno memanfaatkan teori-teori dalam Marxisme, termasuk dialektika, sebagai alat analisis dalam menyusun dasar pemikirannya.
Nasionalisme yang dibangun juga Soekarno, kata Emir Moeis, mengedepankan semangat tolong-menolong, kasih sayang, dan gotong royong, serupa dengan ajaran Mahatma Gandhi di India. Hal ini berbeda dengan nasionalisme ekspansif ala Prancis di era Napoleon atau nasionalisme chauvinis seperti Jerman di bawah Hitler.


Tinggalkan Balasan