Oleh Dr. Noviardi Ferzi

TANYAFAKTA.CO Peningkatan angka stunting di Provinsi Jambi dari 13,5% menjadi 17,1% dalam kurun waktu satu tahun terakhir adalah sinyal bahaya yang tak boleh disepelekan. Lonjakan ini tidak hanya mencerminkan kegagalan teknis program, tetapi juga menunjukkan adanya persoalan struktural dalam tata kelola kebijakan publik, koordinasi lintas sektor, hingga keberlanjutan program intervensi.

Gubernur Jambi, Al Haris, menegaskan bahwa penanganan stunting harus diperlakukan sebagai prioritas utama, bukan sekadar pekerjaan tambahan birokrasi. Seruan ini penting, karena selama ini banyak program stunting hanya dipandang sebagai pelengkap, bukan core agenda pembangunan manusia.

Pada tahun-tahun sebelumnya, Jambi sempat menorehkan progres cukup baik dalam penurunan stunting. Dari 22,4% pada 2021 turun menjadi 13,5% di 2023. Namun, kenaikan kembali ke 17,1% pada 2024 menjadi kontradiksi yang menimbulkan pertanyaan besar: apa yang salah dalam desain kebijakan? Beberapa faktor dapat ditelusuri. Pertama, berhentinya distribusi Pemberian Makanan Tambahan (PMT) pada balita kurus sejak 2022 terbukti meninggalkan celah besar. Padahal, PMT adalah salah satu intervensi langsung yang memberi efek signifikan pada perbaikan gizi anak.

Baca juga:  Pentingnya Pendidikan dan Latihan di Sektor Pariwisata

Kedua, pemantauan pertumbuhan melalui posyandu belum maksimal. Rendahnya kunjungan posyandu—bahkan di beberapa desa hanya 40–50% balita yang terpantau—membuat banyak kasus gizi buruk tidak terdeteksi sejak dini.

Stunting memang kerap diasosiasikan dengan isu kesehatan, padahal salah kebijakan dan program pengentasan yang seremonial menjadi kerikil tajam yang jarang disadari.

Fakta, hanya sekitar sepertiga penyebab stunting yang bisa disentuh melalui intervensi kesehatan, dua pertiga sisanya justru terkait dengan faktor struktural seperti akses air bersih, jambanisasi, kemiskinan, pendidikan ibu, hingga literasi gizi masyarakat. Sementara di Jambi pengentasan stunting masih banyak pada seremonial, diskusi dan acara yang jauh dari subtansi.

Pada sejumlah “kantong merah” stunting di Jambi—seperti Pemayung (Batanghari), Kumpeh Ulu (Muaro Jambi), dan Mendahara Ulu (Tanjabtim), polanya nyaris seragam: kemiskinan tinggi, pekerjaan tidak tetap, rendahnya akses layanan dasar, serta piring makan yang miskin protein. Situasi ini menggambarkan bahwa stunting bukan semata masalah medis, melainkan produk dari ketidakadilan sosial dan ketertinggalan pembangunan desa.

Baca juga:  Pendidikan Politik: Membangun Kesadaran Masyarakat Dalam Memilih Pemimpin

Bappeda sejatinya telah mencoba merajut peta jalan percepatan penurunan stunting, termasuk gagasan membentuk task force lintas OPD. Namun, fakta di lapangan menunjukkan masih lemahnya sinkronisasi. Anggaran untuk sanitasi sering tergusur refocusing, program bansos tidak konsisten, sementara data Web Aksi tidak selalu ter-update dengan akurat. Inilah yang menjelaskan mengapa meski ada intervensi, hasilnya tidak signifikan. Program sektoral berjalan sendiri-sendiri, tidak terpadu, dan tanpa target sederhana yang terukur.

Menghadapi lonjakan stunting, Pemerintah Provinsi Jambi harus berani melakukan koreksi fundamental. Langkah pertama yang perlu dilakukan adalah mengembalikan program Pemberian Makanan Tambahan (PMT) untuk balita kurus.