“Saya apresiasi Kapolsek Jelutung, tapi saya berharap kasus saya segera tuntas,” ujarnya.
Sebagai informasi, laporan dugaan perusakan bangunan ini telah berjalan sejak 2024. Pada 20 Agustus 2025 lalu, penyelidik Polsek Jelutung bersama ATR/BPN, Babinsa, serta ahli bangunan kembali melakukan pengukuran batas tanah untuk memastikan validitas sertifikat kepemilikan. Namun, menurut pihak pelapor, pengukuran tersebut sudah berulang kali dilakukan tanpa menghasilkan kepastian hukum.
“Bangunan saya jelas rusak dan retak, bahkan pihak terlapor pernah mengakui secara lisan perbuatannya. Saya mendorong agar kasus ini segera diproses hukum, jangan bertele-tele,” kata Yung Yung Chandra.
Mike juga menekankan bahwa status kepemilikan tembok tidak bisa menghapus adanya dugaan tindak pidana.
“Kerusakan yang terjadi bukan hanya pada tembok pembatas, tetapi juga merusak bangunan utama ruko milik klien kami. Prinsipnya, proses pidana tetap bisa berjalan. Selama karier saya sebagai advokat, ini kasus dengan jumlah SP2HP terbanyak. Artinya proses ini terlalu berlarut-larut,” ujarnya.
Perkembangan penting muncul pada 25 Agustus 2025 ketika Bang Ale, pemilik pertama tanah dan bangunan yang kini beralih ke Yung Yung Chandra, memberikan pernyataan kunci. Ia menegaskan bahwa tembok yang kini disengketakan sebenarnya dibangun jauh sebelum ruko berdiri.
“Jauh sebelum dibangun ruko, dulu di situ rumah orang tua saya. Rumah itu dipagari tembok keliling belakang dan samping. Saat rumah dirobohkan untuk dibangun ruko, tembok sengaja tidak dihancurkan karena berfungsi sebagai pembatas sekaligus pondasi penahan tanah timbunan agar rata dengan jalan,” jelasnya.
Pernyataan ini memperkuat posisi Yung Yung Chandra bahwa tembok memang bagian dari struktur awal bangunan, sehingga kerusakan yang timbul tidak bisa dilepaskan dari tanggung jawab pihak terlapor.
Dalam perspektif hukum pidana, perbuatan pengrusakan bangunan dapat dijerat melalui Pasal 200 dan Pasal 406 KUHP. Pasal 200 mengatur secara khusus larangan merusak bangunan, dengan ancaman pidana yang lebih berat karena menyangkut keselamatan manusia. Sedangkan Pasal 406 berlaku lebih umum terhadap barang milik orang lain, dengan ancaman pidana penjara maksimal dua tahun delapan bulan.
Dengan demikian, aparat penegak hukum memiliki dasar kuat untuk menjerat pelaku dalam kasus ini. Bagi Yung Yung Chandra, kerusakan pada bangunan rukonya bukan sekadar soal materi, melainkan ancaman keselamatan bagi keluarganya.
“Kerusakan bangunan saya semakin parah, retak di mana-mana. Saya dan keluarga sangat waswas dengan kondisi ini. Semoga pihak kepolisian, khususnya Kapolsek Jelutung dan jajaran, tidak menyepelekan masalah ini karena menyangkut keselamatan keluarga saya,” pungkas Yung Yung. (*)


Tinggalkan Balasan