TANYAFAKTA.CO, JAMBI –  Pemerintah kerap mengulang klaim bahwa tambang batu bara menyerap sekitar 69 ribu tenaga kerja di Jambi. Angka ini dijadikan pembenaran seolah tambang memberi manfaat besar bagi masyarakat. Namun, fakta di lapangan justru menunjukkan bahwa jumlah warga yang menderita akibat tambang jauh lebih besar, bahkan bisa mencapai ratusan ribu orang.

Di Sarolangun, rumah-rumah warga Dusun Padang Birau retak akibat getaran alat berat, diselimuti debu, dan terus dihantui suara bising tambang.

Di Batanghari, masyarakat Desa Durian Luncuk mengeluhkan pencemaran udara yang memicu iritasi mata dan gangguan pernapasan. Sungai Pemusiran di Sorolangun yang dulunya menjadi sumber air kini tak lagi bisa digunakan karena tercemar limbah tambang. Bahkan di Tanjung Jabung Barat, rumah warga nyaris ambruk akibat aktivitas perusahaan tambang.

Baca juga:  Gubernur Al Haris dan Kapolda Jambi Resmikan Pembangunan Rutan Polda di Hari Bhayangkara ke-79

Kerugian lebih besar dirasakan di jalan raya. Setiap hari sekitar 12.123 truk batubara melintasi jalan nasional sepanjang ±223 kilometer dari Sarolangun hingga Pelabuhan Talang Duku.

Dampaknya bukan hanya kerusakan jalan dan kemacetan parah, tetapi juga kecelakaan yang merenggut nyawa. Sejak 2017 hingga Juli 2022, tercatat 116 orang meninggal dunia akibat truk tambang batubara. Belum lagi kerugian infrastruktur besar seperti jembatan Batanghari I dan II maupun Gentala Arasy yang beberapa kali nyaris rusak karena dihantam tongkang, dengan biaya perbaikan miliaran rupiah yang ditanggung dari uang publik.

Dampak ekologis pun semakin nyata. Hilangnya tutupan hutan akibat tambang dan pembukaan jalan tambang telah memperparah banjir dan longsor di berbagai daerah. Data tahun 2024 mencatat sedikitnya 21.578 rumah di 165 desa di empat kabupaten/kota terendam banjir dan longsor, dengan lebih dari 68 ribu jiwa terdampak langsung.

Baca juga:  Urun Rembug Tentang Revisi UU TNI