TANYAFAKTA.CO , JAMBI – Berdirinya PT.Toba Pulp Lestari (TPL) menorehkan rekam perjalanan dan sejarah panjang yang kontoversial. Kehadirannya di Tano Batak (Tanah Batak) telah menyeret banyak ragam permasalahan sampai merebak menjadi konflik yang sampai hari ini belum terselesaikan. Bahkan, permasalahan-permasalahan tersebut sudah mulai bermunculan sejak perusahaan tersebut masih bernama PT Inti Indorayon Utama (IIU) puluhan tahun silam.

Berikut ini deretan peristiwa penting menyangkut PT TPL, yang dihimpun dari berbagai sumber dan catatan sejarah serta analisis media yang dilakukan sejumlah lembaga masyarakat sipil nasional maupun lokal.

Berdasarkan riwayatnya, PT IIU atau lebih sering disebut PT Indorayon, terbentuk pada 26 April 1983. Beberapa bulan berikutnya, tepatnya pada 22 Desember 1983, perusahaan yang konon disebut ada kaitannya dengan Sukanto Tanoto itu mendapat status sebagai perusahaan Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) dan mendapat persetujuan tetap dari Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) di bidang pabrik pulp dan rayon di Sumatera Utara (Betahita.id).

Sejalan dengan itu, pada 31 Oktober 1984, Gubernur Sumut yang kala itu dijabat oleh Kaharuddin Nasution mengabulkan permohonan lokasi pabrik PT. Indorayon seluas sekitar 200 hektare di daerah Sosor Ladang, Kecamatan Porsea, Kabupaten Toba. Di tahun yang sama pula, pada sekitar 19 November 1984, PT Indorayon memperoleh Hak Pengusahaan Hutan (HPH) seluas sekitar 150 ribu hektare, mencakup hutan pinus merkusi yang ada di sejumlah wilayah kabupaten di Sumut.

Proyek pulp dan rayon PT Indorayon ini sejak awal sudah menimbulkan pro kontra. Dalam sebuah rapat ilmiah pembahasan rencana proyek PT Indorayon, yang digelar di Kantor Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), pada 17 Mei 1985, terjadi beda pendapat antara Menneg KLH Emil Salim dan Menristek/Ketua BPPT BJ Habibie tentang layak-tidaknya lokasi pabrik di Sosor Ladang, hulu Sungai Asahan.

Bahkan kala itu Prof Dr. Otto Soemarwoto, Pakar Ekologi Lingkungan & Guru Besar Pro Lingkungan, juga Otorita Pengembangan Proyek Asahan (OPPA), menolak ikut bertanggung jawab atas keputusan rapat ilmiah tersebut. Dengan alasan tidak cukup data untuk mengambil keputusan ilmiah. BJ Habibie pernah meminta petunjuk kepada Presiden Soeharto, tentang dampak lingkungan proyek PT IIU, yang didapat petunjuk bahwa proyek tersebut tetap dilanjutkan dengan syarat-syarat secukupnya.

Pada 1986, PT Indorayon dilaporkan melakukan perampasan tanah adat turunan Raja Sidomdom Barimbing di Desa Sugapa Kecamatan Silaen, seluas 51,36 hektare, dengan memanipulasi hukum adat. Namun akhirnya tanah adat itu berhasil kembali kepada masyarakat.

Walhasil, pada 13 November 1986, Menristek BJ Habibie dan Menneg KLH Emil Salim mengeluarkan Surat Keputusan Bersama (SKB) yang berisi mengenai persyaratan-persyaratan yang harus dipenuhi oleh PT Indorayon dalam melaksanakan pembangunan dan operasi proyek/pabrik pulp dan rayon terpadu dengan wawasan lingkungan.

Awal Kemelut

Satu tahun kemudian, Juni hingga Agustus 1987, perlawanan masyarakat mulai muncul. Masyarakat dari Desa Sianipar I dan Sianipar II serta Simanombak mengajukan protes kepada PT Indorayon terkait longsor yang menutupi persawahan. Yang mana longsor tersebut terjadi akibat pembuatan jalan di hutan Simare yang kuran memenuhi syarat. Seluas 15 hektare sawah milik sekitar 43 kepala keluarga tertimbun.
Beberapa bulan kemudian, tepatnya 7 Oktober 1987, terjadi longsor lagi di Desa Natumingka, Kecamatan Habinsaran, yang mengakibatkan 18 warga meninggal. Longsor itu disebabkan oleh aktivitas pembukaan jalan yang dilakukan oleh PT Indorayon.

Kemudian di tahun berikutnya, 9 Agustus 1988, penampungan air limbah (aerated lagoon) dilaporkan jebol saat dilakukan uji produksi. Diperkirakan satu juta meter kubik limbah mencemari Sungai Asahan.

Tak lama dari kejadian tersebut, Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) mengadukan PT Indorayon, BKPM, Menteri Perindustrian, Menteri Kehutanan, Menneg KLH, dan Gubernur Sumut atas pelanggaran Undang-Undang Lingkungan di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat. Walhi menuntut izin PT Indorayon dibatalkan. Sayangnya pada 14 Agustus 1989 PN Jakarta Pusat menolak gugatan tersebut.

Sekitar Oktober 1988, 150 hektare perladangan yang digarap sekitar 100 KK di Desa Negeri Dolok dirusak menggunakan alat berat oleh PT Indorayon, dengan alasan ladang tersebut masuk dalam areal konsesi PT Indorayon.

Longsor lagi-lagi terjadi, pada 25 November 1989. Kali ini terjadi di Desa Bulu Silape, Kecamatan Silaen. Longsor ini diduga kuat disebabkan oleh aktivitas PT Indorayon yang melakukan pemembukaan jalan untuk dilalui truk (logging) di atas bukit, dengan cara mengeruk tanah dan batu di perut Dolok Tampean. Ketika turun hujan, terjadi longsor yang menimpa perkampungan dan areal persawahan. 13 orang warga meninggal, 5 rumah hancur, 30 hektare persawahan tertimbun, 6 hektare perladangan rusak.

Baca juga:  Tuntut Soal Tanah Objek Land Reform Seluas 1500 Hektar, Ratusan Warga Sungai Bungur Gelar Aksi Unjuk Rasa

Penolakan masyarakat atas kehadiran PT Indorayon mulai muncul saat 16 warga Sugapa, Kecamatan Silaen mencabuti patok PT Indorayon yang berada di atas lahan warga seluas 52 hektare pada 15 Desember 1989. Pencabutan patok itu berujung pada penangkapan terhadap 16 warga tersebut.

Pada bulan yang sama, sekitar 70 hektare lahan kopi, cengkeh, kemiri dan jenis lainnya, yang diusahakan 43 KK Huta Maria, di Desa Dolok Parmonangan, Dolok Panribuan, juga ditraktor oleh PT Indorayon karena dianggap masuk dalam konsesi perusahaan.

Di tahun selanjutnya, 18 hektare lahan penggembalaan ternak warga Desa Sianjur Kecamatan Siborong-Borong, Tapanuli Utara, dirampas PT Indorayon. Sebelumnya warga telah menyerahkan 225 hektare lahan dengan ganti rugi Rp1,25 per meter persegi. Perampasan lahan ini mendapat perlawanan dari 14 KK di sana.
Masih di tahun yang sama, PT Indorayon menebangi pohon pinus di atas lahan seluas 160 hektare di Parik Sabungan, Tapanuli Utara dan mendapat perlawanan warga. Lantaran lahan tersebut yang pada 1951 dipinjam oleh Dinas Kehutanan untuk areal percontohan pohon pinus.

Sekitar 1989 hingga 1990 tanah-tanah adat di Sampuara-Jangga dan Parsoburan dijadikan areal HPH PT Indorayon dan ditanami eukaliptus dengan memanipulasi hukum adat. Namun warga sadar akan bahaya eukaliptus dan meminta tanah-tanah adat mereka dikembalikan.

Pada 11 Mei 1990, PT Indorayon mulai mendapat suntikan dana dari luar negeri dan statusnya berubah dari PMDN menjadi Penanaman Modal Asing (PMA), dengan surat pemberitahuan Ketua BKPM tentang Persetujuan Presiden. Investor asing yang membiayai PT Indorayon kala itu adalah Cellulosa International S.A (6,2%) dan Scann Fibre Co. S.A. dari Luxemburg (9,3%). Sedangkan investor dalam negeri yakni Sukanto Tanoto (24,3%), Polar Yanto Tanoto (5,8%), PT Adimitra Rayapratama (25,2%), PT Inti Indorayonesia Lestari (18,5%), Hendrik Muhamad Affandi, Dr Semion Tarigan dan Hakim Haryanto.
Tak lama menyandang status sebagai PMA, sekira pada 20 November 1990, PT Indorayon mendapat persetujuan Presiden mengenai perluasan usaha, dengan surat pemberitahuan Ketua BKPM. Perluasan usaha tersebut mencakup tujuh jenis produk, yakni, Pulp (165.000 ton), HCL, NaOH, Viscose rayon staple fiber (Rayon) diperluas, Na2SO4 diperluas, CS2 diperluas dan H2SO4 diperluas. Investasi awal PT Indorayon sebesar Rp489,132 miliar dan perluasan sebesar Rp451,336 miliar, termasuk nilai mesin USD167 juta, realisasi perluasan berakhir 20 April 1993.

Pada 1991 PT Indorayon dilaporkan melakukan penanaman eukaliptus di atas tanah adat milik para ahli waris Ompu Debata Raja Pasaribu di Huta Maria, Desa Dolok Parmonangan, Dolok Panribuan. Dengan alasan tanah-tanah adat itu masuk dalam konsesi PT Indorayon sesuai SK Menteri Kehutanan.

Tahun berikutnya, tepatnya pada 1 Juni 1992, Izin HPH PT Indorayon bertambah luas menjadi 269.060 hektare. Lewat SK Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 493/Kpts-II/92 tentang Pemberian Hak Pengusahaan Hutan Tanaman Industri (HPHTI) yang dikeluarkan Menteri Kehutanan Hasjrul Harahap.

Pada 5 November 1993 terjadi peristiwa meledaknya boiler dan kebocoran klorin, menyebabkan pencemaran udara dan pabrik PT Indorayon terpaksa ditutup. Peristiwa itu memicu kemarahan masyarakat yang sejak awal menolak keberadaan PT Indorayon. Masyarakt melakukan perusakan terhadap rumah karyawan pabrik, 125 rumah dilaporkan rusak, 5 mobil pickup, 5 sepeda motor, satu mini market, satu statsiun radio dan satu traktor dibakar. Masyarakat juga melakukan penutupan akses jalan bagi truk PT Indorayon. Pemerintah daerah kemudiane memutuskan untuk menutup sementara pabrik tersebut.

Namun penutupan pabirk PT Indorayon itu hanya berumur beberapa hari saja, pada 12 November 1993, Menteri Perindustrian Tunky Ariwibowo memberi izin PT IUU beroperasi kembali. Saat ini PT Indorayon menyatakan minta maaf dan menjanjikan bantuan kepada masyarakat melalui Yayasan Sinta Nauli. PT Indorayon juga berjanji akan melakukan audit dampak lingkungan menggunakan jasa auditor internasional dan pada 21 November 1993 PT Indorain kembali beroperasi lagi.
Kejadian jebolnya penampungan limbah atau aerated lagoon kembali terulang pada 2 Maret 1994. Lagi-lagi itu menyebabkan Sungai Asahan tercemar dan menyebabkan banyak ikan mati.

Baca juga:  Kapolda Jambi Hadiri Apel Siaga Darurat Karhutla Tahun 2024

April 1998, Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia bekerja sama dengan Walhi melakukan penelitian atas pencemaran lingkungan di Porsea. Hasilnya, risiko penyakit kulit buat ibu 7x dan 2-5x balita, saluran pernapasan 3x buat ibu dan 2x buat balita, saluran pencernaan 6x buat ibu dan juga 6x buat balita, mata 2-3 x, mual-mual 6x dan syaraf 2x.

Penutupan PT Indorayon

Juni 1998, Gubernur Sumut, Raja Inal Siregar, mengeluarkan keputusan pengehentian operasi PT Indorayon. Keputusan tersebut diambil setelah masyarakat sekitar pabrik PT Indorayon bersama ribuan mahasiswa di Medan melakukan unjuk rasa. Penghentian operasi tersebut berlaku sampai ada keputusan lebih lanjut.

Penghentian operasi PT Indorayon ini bergayung sambut hingga ke pusat. 15 Juni 1998, dalam Rapat Kerja Komisi V DPR RI, Menneg KLH yang saat itu dijabat Panangian Siregar mengusulkan agar PT Indorayon ditutup.

Namun terlepas dari usul tersebut, masyarakat Toba Samosir tetap melakukan aksi penutupan dengan caranya sendiri, yakni dengan menghentukan truk-truk PT Indorayon masuk ke pabrik, pada 20 Juli 1998. Aksi tersebut tepatnya dilakukan di Simpang Sirait Uruk.

Aksi masyarakat tersebut berlangsung hingga pertengahan Juli. Karena setelah 30 hari melakukan aksi, massa aksi diserbut oleh ratusan aparat keamanan gabungan dari kepolisi dan tentara. Beberapa warga diketahui terluka terkena pentungan aparat, sebagian warga dikejar sampai ke pintu rumah, sebagian lain menyelamatkan diri ke persawahan.

Ada juga seorang warga yang ditangkap, diseret dan mengalami kekerasan hingga dibuang ke parit, sebelum akhirnya ditemukan warga dalam keadaan koma. Namun hal itu tidak menyurutkan perlawanan warga, hari berikutnya aksi unjuk rasa kembali digelar. Kali ini aparat gabungan yang dihadapi bertambah banyak, mencapai ribuan. Dalam aksi tersebut diketahu belasan warga terluka, puluhan rumah rusak dan beberapa warga dikabarkan hilang.
Yang mana pada 21 Juli 1998 Menneg KLH Panangian Siregar akhirnya menyatakan operasi PT Indorayon ditutup, disertai syarat sambil diadakan audit lingkungan. September kemudian, PT Indorayon mengumumkan telah mengalami kerugian sebesar USD8 juta akibat penutupan pabrik. Berselang satu bulan kemudian, pada 6 Oktober 1998, Panagian Siregar malah mengeluarkan pernyataan yang bertentangan dengan keputusannya sebelumnya, yakni setuju PT Indorayon kembali beroprerasi.

Rentetan Bentrokan

Pada 3 September 1998, dua pemuda Desa Tambunan, Balige, dilaporkan ditangkap karena aksi-aski yang dilakukan. Besoknya 150 warga hadir melakukan aksi penghempangan jalan. Seorang warga bernama Rahman Sirait ditangkap. Warga melarang dan terjadi tarik menarik dengan kaum ibu. Aparat disebut memukuli kaum ibu dengan pentungan dan menembakkan gas air mata.

Akibat penangkapan, warga marah dan dalam waktu singkat 2000 warga hadir dari berbagai desa ke Porsea. Terjadi bentrokan dan aparat menembakkan gas air mata. Setelah warga pulang ke rumah masing-masing, aparat yang terdiri dari brimob dan tentara dari Titi Kuning, Medan, melakukan perusakan, penjarahan dan menembaki rumah penduduk. Beberapa rumah dijarah disertai pemukulan terhadap warga yang ditemui di rumah, tidak peduli anak-anak maupun yang sudah tua.

Pada 4 September 1998, terjadi bentrok antara warga Sirait Uruk dengan aparat. Aparat menggunakan gas air mata dan melakukan penembakan hingga mengakibatkan satu orang warga bernama Jhon Sirait terluka akibat tertembak di bagian kakinya. Dalam kejadian itu 50 orang ibu mengalami luka-luka dan lebam terkena pentungan aparat, 1 orang ibu tua berusia 80 tahun diketahui diculik saat bekerja di sawah.

Kemudian 15 orang warga ditangkap dan dimasukkan ke truk dan dibawa paksa oleh aparat. Selanjutnya diketahui ditahan di Polres Tarutung dan 30 orang dikabarkan hilang.

Memasuki November, PT Indorayon akhirnya beroperasi lagi dengan penjagaan dan pengawalan ketat dari aparat kepolisian dan militer. Hal itu memicu reaksi masyarakat, hingga pada 22 November 1998 terjadi unjuk rasa melibatkan banyak pihak yang jumlahnya dilaporkan mencapai 3 ribu orang.
Unjuk rasa itu berujung bentrok dengan aparat militer, yang mana kala itu aparat militer (saat itu masih Angkatan Bersenjara Republik Indonesia) menggunakan senjata api. Seorang pengunjuk rasa, Ir. Panuju Manurung tertembak di bagian paha dan kemudian lari. Namun Panuju Manurung tertangkap oleh tentara dan diserahkan kepada karyawan pabrik.

Baca juga:  PP PMKRI Surati Komnas HAM dan Ombudsman RI, Desak Investigasi PT Toba Pulp Lestari Soal Kriminalisasi Masyarakat Adat

Dalam kejadian itu sebanyak 25 truk milik PT Indorayon dibakar. Tak hanya itu 4 mobil dan 7 sepeda motor juga dibakar. Sebanyak 23 rumah penduduk yang disangka mendukung PT Indorayon juga dirusak.

Hari berikutnya bentrok massal melibatkan lebih banyak orang, dengan ABRI, kembali terjadi dan pihak polisi menggunakan gas air mata. Dalam bentrok tersebut, sebanyak 79 orang ditangkap dan ditahan di Mapolres Tapanuli Utara.

Tiga hari kemudian, 26 November 1998, Panuju Manurung yang sebelumnya tertembak kemudian tertangkap itu kemudian akhirnya dilaporkan meninggal. Panuju Manurung diduga mengalami kekerasan. Ribuan mahasiswa dari Medan kemudian melakukan aksi menuntut agar 79 orang yang ditahan segera dilepaskan. Hal itu mengakibatkan bentrok dengan polisi, hingga 39 orang mengalami luka dan 15 orang lainnya dirawat.

Desember 1998, sejumlah LSM yakni Forum Bona Pasogit dan Yayasan Perhimpunan Pencinta Danau Toba (YPPDT) bersama Gubernur Sumut, melakukan pertemuan dengan BJ Habibie yang kala itu duduk sebagai Presiden RI menggantikan Soeharto pascalengser membicarakan tentang sikap pemerintah terhadap PT Indorayon. Belum ada pernyataan sikap dalam pertemuan tersebut dari Presiden Habibie.

Dua bulan kemudian, para pekerja PT Indorayon melakukan demonstrasi ke PT Inalum di Paritohan. Mereka menuduh PT Inalum telah mendanai serta mengipas gerakan anti-PT Indorayon dan perusahaan itu mengusulkan agar pemerintah menunjuk auditor independen. 16 Maret 1999, 4 karyawan PT Indorayon dilaporkan hilang. Konon hilangnya 4 karyawan PT Indorayon itu akibat diculik oleh masyarakat. Tiga meninggal ditemukan dan satu lagi dirawat.

Atas segala persoalan, khususnya akibat adanya penolakan yang keras dari masyarakat, pada 19 Maret 1999, akhirnya Presiden Habibie mengeluarkan keputusan lisan yang isinya, Danau Toba segera akan ditetapkan sebagai cagar alam, seni, dan budaya yang harus dijaga kelestariannya yang makin berpotensi sebagai daerah wisata, wilayah itu hendaknya ditangani oleh suatu Badan Pengelola yang akan mengusulkan kepada UNESCO agar dijadikan world heritage, menghentikan operasi Indorayon untuk sementara dan meminta YPPDT menyusun ToR audit total dampak lingkungan perusahaan itu dan hasil audit itu nantinya akan dipakai untuk memutuskan status PT Indorayon selanjutnya
Sayang keputusan Presiden Habibie tersebut tak terlaksana sepenuhnya. Akibat dari hasil perdebatan yang terjadi antara LSM yang anti-PT Indorayon (YPPDT, Forum Bona Pasogit) dan Pro-PT Indorayon (Permata dan Pencinta Toba Lestari), membahas keputusan Presiden Habibie tersebut. Forum debat yang digelar 18-21 Juli 1999 tersebut konon diprakarsai oleh Menneg KLH, Panangian Siregar.

Pada era Presiden Abdulrahman Wahid, PT Indorayon kembali ditutup, kali ini niatnya ditutup secara permanen. Pada 24 Januari 2000, Menneg LH Sonny Keraf mengambil keputusan untuk menghentikan operasional PT Indorayon. Hal tersebut disampaikan dalam surat kepada Ketua BKPM yang Isinya, pertama PT Indorayon telah menimbulkan kerusakan lingkungan dan maraknya keluhan, protes, dan aksi penduduk setempat. Kantor Menneg LH telah melaksanakan pengkajian terhadap kasus lingkungan hidup PT Indorayon. Delapan butir hasil kajian, seluruhnya menunjukkan kelalaian PT Indorayon.

DPRD Toba Samosir (saat itu Kabupaten Toba dan Samosir masih belum berpisah) setuju operasi PT Indorayon dihentikan dalam Rapat Paripurna DPRD Tobasa yang digelar di Balige 1 Maret 2000.

 

Pada 10 Mei 2000, Rapat Kabinet akhirnya memilih alternatif win-win solution terkait kemelut PT Indorayon. Dengan tiga syarat, dikenakan persyaratan khusus yang ketat menggantikan SKB 1986, PT Indorayon boleh beroperasi, tetapi hanya pulp tanpa rayon, setelah mematuhi syarat-syarat baru itu, setahun kemudian diaudit untuk menentukan apakah boleh terus atau tidak, terakhir PT Indorayon harus melakukan sosialisasi terlebih dulu bahwa beroperasinya pabrik akan menyebabkan turunnya kualitas lingkungan yang akan mempengaruhi kenyamanan masyarakat.

Bentrok besar kembali terjadi di Porsea, antara masyarakat dengan polisi pada 21 Juni 2000. Bentrok tersebut disebabkan oleh adanya penculikan warga yang bertugas jaga malam, oleh aparat kepolisian. Seorang pelajar kelas dua STM Yayasan Parulian Porsea, bernama Hermanto Sitorus, yang kebetulan lewat tewas tekena terjangan peluru yang ditembakkan oleh polisi. Kasus ini belum pernah diusut.

Bulan berikutnya Komisi VIII DPR RI memberi waktu satu tahun untuk melakukan audit, untuk memastikan bahwa kegiatan PT Indorayon tidak merusak lingkungan.