PT Indorayon dilaporkan melakukan pertemuan dengan bank dan investor asingnya. Seluruh investor menuntut agar PT Indorayon mengakhiri pendekatan kekerasan dan bersepakat dengan masyrakat. Pada 28 Agustus 2000, investor asing juga mengakui kesalahan PT Indorayon dan dalam pertemuan dengan Gubernur Sumut, seorang wakil investor asing, Julian Hill mengusulkan agar operasi PT Indorayon lebih ramah lingkungan dan mengganti teknologi kraft dengan soda.

Usul penggunaan soda sebagai teknologi kraft tersebut mendapat pertentangan juga. Prof Dr Firman Manurung dalam diskusi lanjitan tentang teknologi pengganti di Jakarta, 31 Agustus 2000, memberi penjelasan tandingan. Firman mengatakan, tetap saja dalam proses pemutihan pulp (bleaching) akan terjadi persenyawaan gas klorin (Cl) dengan bahan-bahan organik yang menghasilkan organochlorin, zat yang menyebabkan banyak kematian dan penyakit di seluruh dunia.Temu Kajian Ilmiah di Parapat. Pemrakarsa, Gubernur Sumu kembali menggelar Temu Kajian Ilmiah di Hotel Niagara, Parapat 22-23 September 2000. Kegiatan itu dihadiri 68 peserta dari 108 undangan dan ini merupakan kelanjutan dua pertemuan sebelumnya dengan tema Temu Kajian Ilmiah Upaya Penyelesaian Permasalahan PT IIU. Temu kajian tersebut berujung pada kesimpulan bahwa akan memberi kesempatan beroperasi kepada PT Indorayon.

Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa (RUPSLB) PT Indorayon yang digelar pada 15 November 2000, menghasilkan Paradigma Baru. Yang isinya, kerja sama bisnis dengan masyarakat, dana satu persen dari nilai penjualan setiap tahun untuk masyarakat disalurkan lewat yayasan, mengutamakan putra daerah setempat dalam pengangkatan karyawan, teknologi pabrik yang ramah lingkungan, pengelolaan sumber daya alam berkesinambungan dan berwawasan lingkungan, seperti menebang pohon yang ditanam saja dan menyediakan sebagian HTI (90.576 ha atau 32 persen) untuk konservasi.

Selanjutnya PT Indorayon, melalui Direktur Utama Bilman Butarbutar, memohon bantuan pihak kepolisian untuk melakukan pengamanan dikarenakan perusahaan tersebut berencana akan operasi kembali pada 31 Maret 2001. Seperti diprediksi sebelumnya, pada tanggal tersebut terjadi demonsrasi besar melibatkan ribuan warga. Walhasil reoperasi PT Indorayon batal dilakukan.

Pihak PT Indorayon menuding unjuk rasa tersebut didalangi oleh orang-orang dari Medan dan Jakarta. Hal tersebut dibantah oleh Walhi dan menyebut unjuk rasa itu betul-betul hasil inisiatif dan prakarsa masyarakat sedangkan Walhi dan LSM lainnya hanya sebagai pendukung saja.

Berjalannya waktu akhirnya mulai muncul suara-suara pejabat yang mengatakan PT Indorayon boleh beroperasi lagi. Di antaranya datang dari Menneg LH Sonny Keraf, Mennakertrans Jacob Nuwa Wea dan Gubernur Sumut Tengku Rizal Nurdin.

Pada Oktober 2002 PT Indorayon melakukan restrukturisasi utang dengan kreditor asing. Konversi 90 persen utang ke 40 persen saham. Lantas utang menjadi 10 persen, sekitar USD36 juta. Dana investor baru USD50 juta (30 persen saham). Pesaham lama, seperti Brilliant Holding dan Supreme Good, mempertahankan saham 30 persen.

Pada 20 November 2002, ribuan kaum ibu mendatangi kantor Camat Porsea. Dipimpin Pendeta Miduk Sirait untuk menanyakan sikap camat terhadap reoperasi PT IIU. Di hari selanjutnya, polisi diketahui menangkap sekitar 18 pengunjuk rasa di Porsea, dengan sangkaan merusak kantor Camat saat warga melakukan aksi di Kantor Camat.

Saat itu Musa Gurning pimpinan Suara Rakyat Bersama (SRB) ditangkap dekat Kantor Bupati lalu dibawa ke Tarutung. Beberapa kepala desa (kades) ikut unjuk rasa, antara lain Kades Sirait Uruk, Mangatas Sirait dan (pelaksana) Kades Nagatimbul, Lbn Julu, Pahala Sitorus. Sebanyak 16 orang tersangka perusak kantor Camat ditahan.

Berbagai organisasi mengajukan gugatan. Antara lain Walhi, Bakumsu (Bantuan Hukum Sumatera Utara), Lentera, dan Pusaka Indonesia ke Pengadilan Negeri Tarutung mengenai kekerasan yang dilakukan polisi pada 21 November 2002, dengan 13 orang luka dan 18 orang ditahan.

Pada 2002, PT TPL diduga melakukan kriminalisasi terhadap masyarakat adat Sihaporas. Seorang warga bernama Arisman Ambarita tiba-tiba ditangkap oleh polisi.

Januari 2003, 49 organisasi non pemerintahan (Ornop) mendesak pemerintah untuk menutup PT Indorayon. Sekitar 5 ribu warga melakukan pemblokiran jalan masuk ke PT Indorayon. Hal itu dilakukan untuk menunjukkan bahwa pemerintah tidak boleh mengabaikan permintaan masyarakat agar menutup PT Indorayon.

Pada awal re-operasi, PT Indorayon yang nantinya akan berganti nama menjadi PT Toba Pulp Lestari (TPL) itu menambah modal kerja sebesar USD50 juta dari kreditor asing untuk produksi tahun pertama 150-160 ribu ton pulp (kapasitas produksi 180.000 ton).

Baca juga:  Laporan Kaoem Telapak Ungkap Ketimpangan Perlindungan CITES dan Perdagangan Ilegal

Kerugian selama empat tahun tutup USD500 juta, termasuk pembayaran bunga dan cicilan utang pokok USD360 juta. Sebelum tutup, penghasilan setahun perusahaan itu sebesar USD150 juta.

Menneg LH Nabiel Makarim mengirimkan surat tentang Persyaratan Lingkungan PT Indorayon, kepada Menperindag Rini M.S. Suwandi. Isinya persyaratan pengelolaan lingkungan PT Toba Pulp Lestari (TPL), dalam rangka pelaksanaan kegiatan pra operasi pabrik pulp. Persyaratan ini dianggap perlu dibuat karena dengan berubahnya PT Indorayon menjadi PT TPL, maka otomatis SKB 1986 tidak berlaku lagi.

Maret 2003 PT Indorayon yang sudah berganti nama jadi PT TPL disebut diam-diam melakukan reoperasi. Sebagai respon, para orang tua di Porsea sepakat untuk meliburkan anak-anak sebagai aksi mogok untuk menolak beroperasinya PT TPL. Bahkan sebanyak 13 pimpinan gereja di Sumut membuat surat terbuka kepada pemerimtah yang berisi desakan kepada pemerintah untuk menuntup PT TPL.

Peringatan Hari Bumi ke-33 yang sedianya akan digelar masyarakat anti-PT Indorayon/TPL, di Porsea, 21 April 2003 mendapat gangguan. Kelompok pro-PT Indorayon/TPL mengeluarkan seruan agar kepolisian menggagalkan pertemuan akbar tentang Hari Bumi seDuinia yang akan digelar di Sirait Uruk, Porsea. Di peringatan Hari Bumi dan Paskah tersebut muncul konvoi truk yang kemudian menerobos acara. Pemimpin agama di Sumut marah dan menganggap itu sebagai pelecehan agama, pelecehan kemanusiaan, pelecehan hak-hak asasi rakyat petani.

Dalam aksi yang dilakukan di Sirait Uruk, 19 April 2003, warga yang melakukan aksi dipukul dengan pentungan dan mengalami luka tembak, memar, terkilir dan patah tulang.

Pada 2004, Mangitua Ambarita dan Parulian Ambarita anggota masyarakat adat Sihaporas dicokok polisi bersama pihak keamanan PT TPL, dan akhirnya harus menjalani persidangan hingga divonis bersalah.

Pada 2006, penggarapan tanah adat oleh PT.TPL kembali terjadi di 11 desa di Kecamatan Pollung, Humbang Hasundutan. Tanah adat dan hutan kemenyan seluas 3.500 hektare, milik keturunan Bius Marbun dirusak dan ditebangi oleh PT TPL dengan alasan tanah adat tersebut masuk dalam areal HPHHTI PT TPL.

Pada 2009, tanah adat dan hutan kemenyan yang sudah dimiliki masyarakat adat secara turun temurun sejak 300 tahun lalu yang merupakan sumber mata pencaharian utama 700 KK, di Desa Pandumaan dan Desa Sipituhuta, Kecamatan Polung, Humbang Hasundutan, juga ditebang dan dirusak oleh PT TPL, karena dianggap konsesi HPHHTI PT TPL.

Pada 2010, pohon-pohon pinus yang berada di tanah adat milik bersama Bius Lontung (Sinaga dan Situmorang) ditebang oleh PT TPL, dan tanah adantya diambil alih hanya dengan melakukan pendekatan dengan sejumlah orang. PT TPL mengklaim sudah melakukan pembelian dengan beberapa orang
Di tahun yang sama PT TPL menggarap secara paksa lahan Lumban Naiang, di Desa Aek Lung, Kecamatan Dolok Sanggul, Humbang Hasundutan. Padahal lahan tersebut dulunya digunakan Dinas Pertanian dan Kehutanan untuk areal penghijauan, dengan perjanjian 30 tahun setelah tanaman pinus dipanen, tanah akan dikembalikan kepada masyarakat. Namun setelah pinus dipanen, tanah tersebut langsung ditanami dengan eukaliptus oleh PT TPL, dengan alasan masuk dalam areal HPHHTI PT TPL/Hutan Tanaman Rakyat (HTR). PT TPL mengintimidasi masyarakat agar tidak mengusakan tanah tersebut.

Seorang Pendeta, bernama Haposan Sinambela, yang sejak 2009 menjadi pengurus Komunitas Masyarakat Adat Pandumaan Sipituhuta, Humbang Hasundutan, ditangkap dan ditahan oleh kepolisian, setelah ikut serta dalam aksi demonstrasi yang digelar masyarakat adat tersebut di Simpang Marade, Februari 2013 lalu. Pendeta tersebut ikut berjuang untuk mempertahankan wilayah dan hutan adat dari PT TPL.

Pada 25 Februari 2013, pekerja PT TPL diketahui menanam eukaliptus di wilayah tombak haminjon (hutan kemenyan) di Dolok Ginjang, Desa Pandumaan-Sipituhuta, Kabupaten Humbang Hasundutan. Padahal sesuai kesepakatan, harus ‘gencatan senjata’, tidak ada aktivitas. Warga protes hingga terjadi bentrok dengan massa karyawan TPL. Brimob Polri yang menjaga perusahaan menangkapi 31 warga, 16 orang ditetapkan tersangka, 15 dibebaskan.

Akibatnya, terjadilah bentrok dan ditandai dengan penangkapan. 16 Warga yang ditangkap dari Desa Sipituhuta adalah, Hanup Marbun, Leo Marbun, Onri Marbun, Jusman Sinambela, Jaman Lumban Batu, Roy Marbun, Fernando Lumbangaol, Filter Lumban Batu dan Daud Marbun. Sedangkan dari Desa Pandumaan Elister Lumbangaol, Janser Lumbangaol, Poster Pasaribu, Madilaham Lumbangaol, dan Tumpal Pandiangan.

Baca juga:  Gelar Aksi Terkait Kerusakan Lingkungan Akibat Limbah Anak Perusahaannya, PT. Asian Agri Bungkam

Di tahun yang sama, Rusliana Boru Marbun dari Komunitas Adat Matio diketahui dikrimanlisasi oleh PT TPL dan mendapat vonis 6 bulan penjara. Ia mempertahankan dan memprotes sawahnya ditimbun oleh PT TPL yang membuka perkebunan eukaliptus.

14 Juli 2015, Sammas Sitorus dari Komunitas Adat Guru Datu Sumalanggak Sitorus, Lumban Sitorus, Kecamatan Parmaksian, Kabupaten Toba, dilaporkan PT TPL ke Polres Toba atas dugaan pemukulan dan penaniayaan terhadap seorang karyawan PT TPL. Laporan ini menuai kontroversi dan amarah warga, meminta Sammas tidak diproses secara hukum karena penyidikan penuh kejanggalan.

Sammas Sitorus dikenal giat membela masyarakat adat sejak 1997, untuk mendapatkan hak ulayatnya Kembali dari PT TPL. Puncaknya demonstrasi di depan pintu PT TPL pada 13 Juli 2015. Aksi ini berjalan sepanjang hari. Sammas menjalani persidangan selama 8 bulan. Pada 25 Januari 2016, Ketua Majelis Hakim, Darman Nababan dalam sidang terbuka di PN Balige memvonis bebas Sammas.

Pada September 2016, Hotman Siagian anggota Komunita Adat Matio, Kabupaten Toba, dikriminalisasi oleh PT TPL atas tuduhan merusak hutan, menduduki lahan konsesi dan melawan hak merintangi kemerdekaan bergerak dari orang di jalan umum.

Januari 2019, keturunan Op. Sinta Manurung melaporkan PT TPL ke Penegakan Hukum Kementrian Lingkungan Hidup (Gakum KLHK) Wilayah Sumatera atas rusaknya lahan pertanian milik keturunan Op. Sinta Manurung dan milik warga yang terletak di kampung Parbulu Desa Banjar Ganjang, Kecamatan Parmaksian, Kabupaten Toba akibat terpaparnya limbah Nursery milik PT TPL. Namun hampir 3 tahun laporan tersebut belum juga mendapat kejelasan.Tidak hanya itu dengan hal tersebut, pada 8 Mei 2019 keturunan Op. Sinta Manurung juga melaporkan PT TPL ke Polda Sumatera Utara atas dugaan tindak pidana pemakaian tanah tanpa izin (penyerobotan), yang mana tanah milik Op. Sinta Manurung tersebut dipakai menjadi saluran pembuangan Limbah Nursery milik PT TPL. Lagi-lagi laporan tersebut tidak mendapat kejelasan hingga kini.

Pada 10 Juni 2019, PT TPL melaporkan Komunitas Masyarakat Adat Tor Nauli Parmonangan ke Polres Tapanuli Utara dengan tuduhan penyerobotan tanah. Namun masyarakat adat Tor Nauli menolak menghadiri pemanggilan yang dilakukan oleh Polres Tapanuli Utara, karena menganggap tanah tersebut merupakan tanah yang telah dikuasai secara turun temurun.

Selanjutnya pada 16 September 2019 Masyarakat Adat Sihaporas juga terlibat bentrok dengan karyawan PT TPL. Bentrokan terjadi karena pegawai PT TPL mencemari sumber air minum dan merusak tanaman milik Masyarakat Adat Sihaporas serta melarang masyarakat adat bercocok tanam di tanah adatnya.

Thomson Ambarita dan Mario Teguh Ambarita (anak usia 3 tahun 6 bulan) menjadi korban dari tindakan kekerasan oleh Bahara Sibuea (Humas Sektor Aek Nauli) dan security PT TPL. Namun dalam bentrok tersebut, Humas PT TPL atas nama Bahara Sibuea justru yang malah melaporkan Komunitas Masyarakat Adat Sihaporas ke Polres Simalungun dengan tuduhan melakukan tindak pidana Penganiayaan.Tak ingin mengalah, pada 18 September 2019, Thomson Ambarita juga melaporkan Bahara Sibuea ke Pores Simalungun terkait penganiayaan yang dialaminya dalam peristiwa bentrok pada 16 September 2019.

23 September 2019 PT TPL melaporkan Komunitas Masyarakat Adat Dolok Parmonangan ke Polres Simalungun dengan tuduhan penyerobotan tanah. Namun komunitas masyarakat adat tersebut menolak panggilan Polres Simalungun, karena tanah tersebut merupakan tanah yang telah dikuasai secara turun temurun.

Pada 24 September 2019, Thompson Ambarita dipanggil sebagai saksi Pelapor atas laporannya. Namun sesampainya di Polres Simalungun, Thomson justru ditangkap dan diahan atas laporan pihak PT TPL. Selain Thomson, Sekretaris Umum Lamtoras Jonny Ambarita, juga ditangkap dan ditetapkan sebagai tersangka oleh Polres Simalungun. Keduanya kemudian mendapat vonis 9 bulan penjara pada 13 Februari 2020.

Pada Oktober 2019, PT TPL membawa kepolisian dan aparat TNI bersejata lengkap melakukan intimidasi terhadap masyarakat adat Ompu Umbak Siallagan di Dolok Parmodanangan, Simalungun. Saat itu warga melakukan aktivitas tani di wilayah adatnya. Setelahnya, PT TPL juga melaporkan 2 orang masyarakat adat atas nama Hasudungan Siallagan dan Sorbatua Siallagan dengan tuduhan melakukan aktivitas pendudukan hutan negara.

Baca juga:  Wamentan Bicara Food Estate dan Cetak Sawah di Rapat Koordinasi Kemenko Perekonomian

27 Mei 2020 Bahara Sibuea yang dilaporkan oleh Thomson Ambarita diketahui telah ditetapkan sebagai tersangka oleh Polres Simalungun. Dalam menindak lanjuti laporan tersebut, Masyarakat Adat Sihaporas melakukan beberapa upayam baik mendesak Polres Simalungun, Polda Sumut, Audiensi ke Kapolres Simalungun hingga melaporkan Penyidik ke Wasidik Polda Sumut. Namun hingga saat ini Bahara Sibuea (Humas PT. TPL) belum juga diseret ke Pengadilan dan tidak pernah dilakukan penahanan terhadap Bahara Sibuea.Juni 2020, PT TPL dituding melakukan kriminalisasi terhadap 5 orang masyarakat adat Huta Tor Nauli, Desa Manalu Dolok, Kecamatan Parmonangan, Tapanuli Utara. Perusahaan tersebut melaporkan Bohari Job Manalu, Manaek Manalu, Nagori Manalu, Jamanti Manalu, Ranto Dayan Manalu dengan tuduhan perkebunan tanpa izin di Kawasan Hutan.

17 September 2020, Komunitas Masyarakat Adat OP. Panggal Manalu melaporkan PT TPL ke Polres Tapanuli Utara atas dugaan tindak pidana perusakan tanaman milik masyarakat adat yang terletak di Ladang Parbutikan, Desa Aek Raja, Kecamatan Parmonangan Kabupaten Tapanuli Utara. Kasus ini berjalan di tempat hingga sekarang karena Komunitas Masyarakat Adat OP. Panggal Manalu diminta Polres Tapanuli Untuk untuk menunjukkan bukti surat kepemilikan tanah.

Kemudian, pada 22 September 2020, PT TPL melaporkan Komunitas Masyarakat Adat Ompu Ronggur Sipahutar ke Polres Tapanuli Utara dengan tuduhan tindak pidana penggunaan kawasan hutan. Akan tetapi Komunitas Masyarakat Adat Ompu Ronggur Sipahutar menolak panggilan Polres Tapanuli Utara, karena tanah tersebut merupakan tanah yang telah dikuasai secara turun temurun.

PT TPL melaporkan Komunitas Masyarakat Adat Natumingka ke Polres Toba pada 24 Oktober 2020, dengan tuduhan tindak pidana pengrusakan tanaman milik PT TPL. Namun Komunitas Masyarakat Adat Natumingka menolak panggilan Polres Toba.

Pada 15 Desember 2020 PT TPL diduga melakukan kriminalisasi terhadap masyarakat adat keturunan Ompu Ronggur Simanjuntak di Desa Sabungan Ni Huta II Kecamatan Sipahutar, Tapanuli Utara. Lima warga, Dapot Simanjuntak, Maruli Simanjuntak, Pariang Simanjuntak, Sudirman Simanjuntak, dan Rinto Simanjuntak dilaporkan ke polisi dengan tuduhan penggunana kawasan hutan negara. Padahal mereka berlima hanya bertani di wilayah adatnya.Januari 2021, pihak PT TPL melaporkan 3 orang anggota Komunitas Masyarakat Adat Huta Natumingka, dengan tuduhan perusakan tanaman milik PT TPL. Tiga orang tersebut yakni, Anggiat Simanjuntak, Pirman Simanjuntak, dan Risna Sitohang. Ketiganya kemudian ditetapkan sebagai tersangka oleh Polres Toba pada 31 Maret 2021. Atas penetapan tersangka tersebut, Komunitas Masyarakat Adat Natumingka mengadukannya ke DPRD Sumut namun pengaduan tersebut tidak ditindak lanjuti secara serius.

Pada 20 April 2021, Pdt. Faber Manurung bersama sekitar 15 warga melakukan aksi protes di Desa Pangombusan, Kecamatan Parmaksian. Protes yang dilakukan dengan memberhentikan truk pengangkut kayu PT TPL tersebut dilakukan menyuarakan kerusakan lingkungan yang sudah berlangsung lama di kampung mereka, Dusun Parbulu, Desa Bandar Ganjang, Kecamatan Parmaksian, Kabupaten Toba. Akibat aksi protes tersebut Pdt. Faber Manurung ditahan pihak kepolisian.

18 Mei 2021, Komunitas Masyarakat Adat Natumingka bentrok dengan ratusan karyawan PT TPL. Hal tersebut diawali oleh keinginan PT TPL memaksa melakukan penanaman eukaliptus di wilayah adat Op. Punduraham Simanjuntak, di Desa Natumingka, Kecamatan Borbor Kabupaten Toba. Akibat peristiwa tersebut, 12 orang Komunitas Masyarakat Adat Natumingka menjadi korban penganiayaan pegawai PT TPL.

Satu hari kemudian, Komunitas Masyarakat Adat Natumingka melaporkan para karyawan PT TPL ke Polres Toba dengan tuduhan dugaan tindak pidana penganiayaan. Polres Toba sempat enggan untuk menerima laporan Komunitas Masyarakat Adat Natumingka, namun setelah berdebat panjang, laporan Komunitas Masyarakat Adat Natumingka diterima petugas SPKT Polres Toba.

Bentrokan kembali terjadi antara perusahaan PT Toba Pulp Lestari dan masyarakat adat di Desa Sihaporas, Kecamatan Pematang Sidamanik, Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara, Senin (22/9/2025). Sebanyak 33 warga terluka, 1 orang hilang, 4 rumah rusak, dan 5 gubuk tani dibakar. PT Toba Pulp Lestari atau TPL menyebut, enam karyawannya juga terluka dan dua mobil operasional dibakar.