Indeks Gini Jambi pada Maret 2025 tercatat 0,301, turun dari 0,315 pada September 2024. Sekilas terlihat positif, seolah pemerataan meningkat. Namun, jika dikaitkan dengan meningkatnya jumlah miskin, penurunan Gini ini bisa dimaknai sebagai menyusutnya kelas menengah. Mereka yang tadinya di lapisan tengah bergeser ke bawah, membuat jarak antar kelas sosial memang sedikit mengecil, tetapi dengan fondasi ekonomi yang lebih lemah. Ini berbeda dari pemerataan ideal yang seharusnya muncul akibat naiknya kelompok miskin menjadi menengah, bukan sebaliknya. Sejak 2022, Gini Jambi sempat menyentuh 0,335—menunjukkan kesenjangan struktural yang lama mengendap. Ditambah dengan ketimpangan pembangunan antarwilayah di Jambi yang masih tergolong “sedang” selama dua dekade terakhir, maka jelas bahwa “pemerataan” di atas kertas belum menjawab problem mendasar.

Jika kelas menengah melemah, dampaknya akan sangat luas. Konsumsi barang dan jasa non-pokok menurun, padahal sektor ini menjadi pasar utama kelas menengah yang menopang UMKM dan usaha lokal. Hilangnya kemampuan rumah tangga untuk menabung dan berinvestasi juga akan membatasi mobilitas sosial generasi berikutnya. Lebih jauh lagi, keresahan sosial berpotensi meningkat ketika kelompok menengah merasa status mereka terancam dan masa depan tidak pasti.

Namun, kelas menengah seringkali menjadi kelompok abu-abu dalam kebijakan. Pemerintah lebih fokus menyalurkan bantuan sosial ke kelompok miskin, sementara subsidi bagi kelompok menengah rentan minim. Akibatnya, mereka tidak cukup miskin untuk menerima bantuan, tetapi juga tidak cukup kuat untuk menghadapi guncangan. Kondisi ini membuat kelas menengah ibarat pasir hisap: mudah tenggelam ketika krisis datang, namun jarang mendapat jaring pengaman.

Menyelamatkan kelas menengah bukan sekadar menjaga angka statistik, melainkan memastikan stabilitas ekonomi jangka panjang. Upaya itu harus dimulai dengan penguatan UMKM agar bisa naik kelas, bukan hanya bertahan hidup. Akses teknologi, digitalisasi, dan perluasan pasar sangat penting untuk mendorong transformasi usaha. Penciptaan lapangan kerja formal yang berkualitas juga mendesak, karena sektor informal tidak akan mampu memberikan perlindungan sosial yang memadai. Pembangunan industri pengolahan berbasis sumber daya lokal, pengembangan sektor jasa modern, serta pemanfaatan ekonomi digital bisa menjadi jawaban.

Selain itu, infrastruktur yang menekan biaya hidup perlu diperkuat. Transportasi publik yang terjangkau, energi yang stabil, dan logistik yang murah akan membantu mengendalikan inflasi. Investasi pada pendidikan dan keterampilan, terutama pelatihan vokasi dan reskilling, akan mempersiapkan tenaga kerja Jambi agar lebih kompetitif. Kebijakan fiskal yang lebih inklusif, misalnya insentif pajak untuk kelompok menengah rentan, kredit rumah bersubsidi, atau subsidi pendidikan anak, juga bisa memperkuat daya tahan kelas menengah menghadapi guncangan ekonomi.

Kelas menengah adalah penyangga utama ekonomi daerah sekaligus nasional. Jika fondasi ini runtuh, maka pertumbuhan ekonomi hanya akan menjadi angka kosong tanpa makna. Pertumbuhan yang berkelanjutan harus mampu mengangkat seluruh lapisan masyarakat, bukan sekadar menghadirkan ilusi kemajuan dalam laporan resmi. Menyelamatkan kelas menengah berarti menjaga stabilitas ekonomi, sosial, dan bahkan politik di masa depan. Tanpa mereka, pertumbuhan hanyalah istana pasir di tepi pantai—megah sejenak, runtuh seketika diterpa ombak.

(Penulis merupakan Doktor Ekonomi dan Pengamat Sosial-Politik Jambi)