TANYAFAKTA.CO, JAMBI – Penangkapan aktivis tani senior Thawaf Aly oleh Subdit III Jatanras Polda Jambi memicu kecaman keras dari kalangan masyarakat sipil dan organisasi petani. Persatuan Petani Jambi (PPJ) menilai tindakan aparat tersebut mencerminkan praktik kriminalisasi terhadap pejuang agraria dan bentuk penyalahgunaan kewenangan oleh penegak hukum.
Thawaf Aly (59), yang dikenal sebagai pendamping petani di berbagai wilayah konflik agraria di Provinsi Jambi, dijemput paksa oleh belasan polisi pada Senin, (29/9/2025) lalu. Sejak itu, Ketua Divisi Advokasi PPJ tersebut ditahan di Rutan Mapolda Jambi.
Menurut Erizal, Ketua PPJ, langkah penahanan itu tidak hanya tidak proporsional, tetapi juga mengabaikan konteks utama perkara yang sesungguhnya merupakan sengketa agraria dan bukan tindak pidana umum.
PPJ menyebut bahwa konflik agraria dan sumber daya alam di Jambi merupakan bagian dari ketimpangan struktural kepemilikan tanah dan akses pertanian yang tidak adil.
“Lebih dari separuh dari 28 juta keluarga miskin di pedesaan adalah keluarga petani. Di Jambi sendiri terdapat 272 ribu rakyat miskin. Kondisi ini menunjukkan bahwa keberpihakan negara terhadap petani masih sangat lemah,” tulis Erizal dalam siaran persnya pada Senin,(6/10/2025).
Ia menegaskan negara seharusnya hadir untuk melindungi rakyat kecil dan menjamin perlakuan hukum yang berpihak pada keadilan sosial.
Namun, menurut PPJ, praktik yang terjadi justru sebaliknya, aparat lebih memilih pendekatan represif ketimbang penyelesaian yang adil dan berkeadaban.
Lebih lanjut, Erizal menilai Polda Jambi bertindak gegabah dan tidak profesional dalam menangani perkara yang melibatkan Thawaf Aly dan sejumlah petani lainnya.
“Fakta di lapangan menunjukkan bahwa objek perkara adalah sengketa tanah yang telah diatur dalam regulasi kehutanan dan bahkan pernah mendapat pengakuan dari instansi pemerintah. Namun, penyidik justru mengkriminalisasi petani yang memperjuangkan haknya,” tuturnya.
Menurutnya, penyidik mengabaikan sejumlah regulasi penting:
- PERMA No.1 Tahun 1956, yang menegaskan bahwa perkara pidana harus ditangguhkan bila objeknya merupakan sengketa perdata.
- Surat Edaran Jaksa Agung No. B-230/EJP/01/2013, yang memerintahkan agar perkara pidana terkait tanah ditunda bila masih ada proses perdata yang berjalan.
Tak hanya itu, PPJ mengatakan bahwa aparat penegak hukum diduga melanggar prinsip equality before the law, karena tidak menindak tegas Sucipto Yudodiharjo, pihak yang diduga melakukan panen ilegal di kawasan hutan, sementara petani kecil justru dijadikan tersangka.
Tinggalkan Balasan