Ia menilai banyak daerah gagal karena terlalu optimistis menargetkan pendapatan, tetapi lemah di sisi realisasi. Dampaknya, defisit melebar, dan proyek-proyek strategis kerap dipangkas atau ditunda. “APBD akhirnya hanya menjadi dokumen formal, bukan alat pembangunan yang hidup,” kritiknya.
Noviardi juga menyoroti pentingnya penataan ulang belanja pegawai. Menurutnya, beban aparatur harus diseimbangkan dengan produktivitas layanan publik.
“Jika lebih dari 60 persen APBD habis untuk belanja rutin, maka sulit berbicara pembangunan. Ini saatnya berani memangkas yang tidak produktif,” tegasnya.
Lebih lanjut, Noviardi menekankan bahwa membangun daerah bukan soal angka di atas kertas, melainkan soal dampak nyata bagi masyarakat. Ia menilai kebijakan reformasi fiskal pusat sejalan dengan semangat desentralisasi yang bertanggung jawab.
“Daerah harus menunjukkan kemampuan mengelola keuangan secara sehat. Jika kreatif dan efisien, penurunan TKD bukan ancaman, tapi peluang untuk memperkuat kemandirian dan mempercepat pemerataan pembangunan,” tutupnya. (*)


Tinggalkan Balasan