Sementara itu, janji pembangunan jalan khusus batubara yang diharapkan menjadi solusi justru berjalan lambat karena tarik menarik kepentingan investasi dan regulasi.

Dari sisi penerimaan negara, kebocoran pun tidak kalah besar. Tunggakan royalti dan iuran tetap dari perusahaan tambang di Jambi pernah mencapai Rp132 miliar, dan hingga kini belum sepenuhnya tertagih. Padahal, royalti adalah tulang punggung penerimaan daerah dari sektor ini. Pemerintah pusat sebenarnya telah memperketat aturan melalui PP Nomor 18 Tahun 2025, yang menetapkan tarif PNBP (royalti) progresif antara 15% hingga 28% sesuai harga batubara acuan (HBA). Namun, kebijakan ini dihadapkan pada kenyataan lemahnya pengawasan lapangan dan praktik kolusi antara pelaku usaha dan aparat pengawas.

Lebih jauh lagi, aspek lingkungan nyaris menjadi korban utama. Kementerian ESDM mencatat bahwa 190 perusahaan tambang di Indonesia dibekukan operasinya karena tidak menempatkan jaminan reklamasi, dan 11 di antaranya berasal dari Jambi. Nama-nama seperti PT Anugrah Mining Persada, PT Batanghari Energi Prima, dan PT Batu Hitam Sukses menjadi contoh bagaimana banyak perusahaan menambang tanpa niat memulihkan kerusakan alam yang ditimbulkannya. Lubang-lubang tambang dibiarkan menganga, mencemari air dan tanah, serta mengancam keselamatan masyarakat sekitar.

Baca juga:  Gubernur Al Haris Tanggapi Pandangan Umum Fraksi DPRD Provinsi Jambi

Masalah reklamasi ini adalah wajah lain dari lemahnya integritas. Ketika izin diberikan tanpa evaluasi ketat, ketika jaminan reklamasi tidak diawasi, dan ketika pengusaha bisa lolos tanpa sanksi, maka sistem tambang hanya menjadi ladang rente. Pemerintah daerah pun seringkali tidak berdaya menghadapi perusahaan besar yang memiliki koneksi politik dan ekonomi kuat. Dalam konteks inilah, istilah “mafia tambang” bukanlah tuduhan kosong, melainkan realitas struktural yang dibangun di atas kompromi, ketergantungan, dan pengabaian hukum.

Tak berhenti di situ, mafia tambang juga menembus jalur kebijakan dan regulasi. Penentuan kuota produksi, penunjukan pelabuhan, hingga izin ekspor sering kali disesuaikan dengan kepentingan kelompok tertentu. Lobi-lobi di tingkat pusat dan daerah berlangsung senyap namun menentukan arah kebijakan energi. Ironisnya, ketika harga batubara dunia naik, keuntungan luar biasa justru mengalir ke kantong swasta, bukan kas negara. Sementara itu, masyarakat sekitar tambang hanya mendapat debu, jalan rusak, dan air yang tercemar.

Baca juga:  Membaca Arti Tarif Nol Persen Produk Amerika ke Indonesia

Kisah batubara Jambi adalah potret miniatur bagaimana sumber daya alam dikuasai oleh segelintir orang, sementara tanggung jawab sosial dan ekologis diabaikan. Selama sistem izin masih bisa dinegosiasikan, pengawasan bisa “dibicarakan”, dan sanksi bisa ditunda, maka tambang batubara akan tetap menjadi sumber kekayaan bagi segelintir orang dan sumber penderitaan bagi banyak lainnya.

Jambi memang kaya batubara, tapi kekayaannya tidak jatuh ke tangan rakyat. Ia mengalir lewat celah kebijakan, melalui jaringan pengusaha dan oknum yang bermain rapi dari balik meja. Hingga hari ini, batubara Jambi tetap hitam — bukan hanya warnanya, tapi juga caranya dikelola. Dan selama hukum masih tumpul ke atas tapi tajam ke bawah, mafia tambang akan tetap beroperasi tanpa takut, di tanah yang kaya namun ditinggalkan oleh keadilan.

Baca juga:  Pentingnya Pendidikan dan Latihan di Sektor Pariwisata