TANYAFAKTA.CO, JAKARTA – Pernyataan Menteri Agama (Menag) Nasaruddin Umar yang menyebut kasus kekerasan seksual di pondok pesantren “terlalu dibesar-besarkan” menuai kritik. Pandangan itu dinilai mengabaikan fakta dan penderitaan korban yang terus muncul dari berbagai daerah.

Nasaruddin menilai media massa telah membesar-besarkan isu kekerasan seksual di lingkungan pesantren, padahal menurutnya jumlah kasus sebenarnya sedikit.

“Isu pertama belum selesai, adanya kejahatan seksual di Pondok Pesantren yang dibesar-besarkan oleh media, padahal itu hanya sedikit jumlahnya,” kata Nasaruddin di Kantor Kemenko PM, Selasa (14/10/2025) lalu.

Namun, pernyataan tersebut tidak disertai data resmi dari Kementerian Agama. Nasaruddin juga tidak menjelaskan berapa banyak kasus yang tercatat oleh lembaganya.
Sebaliknya, ia hanya mengimbau agar publik tetap memelihara kepercayaan terhadap pondok pesantren.

Baca juga:  Prabowo Ambil Alih Polemik Pulau Aceh–Sumut, DPR RI : Keputusannya Minggu Depan

“Jangan sampai orang nanti alergi memasukkan anaknya ke Pondok Pesantren, jangan sampai pihak-pihak yang berkeringat beratusan tahun lamanya sudah lebih 200 tahun membangun Pondok Pesantren itu yang terpaksa, yang dikonotasikan sangat negatif,” katanya.

Padahal, data Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) menunjukkan sepanjang 2024 terdapat 573 kasus kekerasan di lingkungan pendidikan, dan 42 persen di antaranya merupakan pencabulan. Dari jumlah itu, 36 persen terjadi di lembaga pendidikan berbasis agama seperti pesantren.

Kasus demi kasus yang mencuat memperlihatkan bahwa kekerasan seksual di pesantren bukan fenomena kecil, melainkan pola berulang.

Dikutip catatan CNNIndonesia.com, kasus pencabulan atau kekerasan seksual sepanjang tahun 2024 terjadi di beberapa lingkungan pesantren sejumlah daerah.

Baca juga:  Indonesia Butuh Revolusi, Ketua Umum DPP PGK : Pemuda Harus Bisa Jadi Pelopor

Pada Maret 2024, polisi menetapkan pengasuh pondok pesantren di Kecamatan Karangan, Trenggalek, Jawa Tomur, M (72) beserta putranya F (37) sebagai tersangka kasus pencabulan terhadap santriwati.

Juli 2024, dua guru di sebuah pondok pesantren di Kabupaten Agam ditangkap karena diduga melakukan pencabulan terhadap 40 santri.

Agustus 2024, Polres Karawang mengonfirmasi kabar pencabulan terhadap puluhan santri yang masih anak-anak di sebuah pesantren di Kecamatan Majalaya, Karawang, Jawa Barat.

September 2024, pemilik pondok pesantren di Karangbahagia, Kabupaten Bekasi ditetapkan sebagai tersangka kasus dugaan pencabulan terhadap santriwati. Tersangka berinisial H alias Aki Udin itu meninggal dunia sebulan kemudian.

November 2024, seorang santri pondok pesantren, inisial FP (15) di Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah, menjadi korban pelecehan seksual yang diduga dilakukan salah satu tenaga pengajar, berinisial TR.

Baca juga:  Polda Jambi Sebut Korban Pemerkosaan Tak Hadiri  Panggilan Pemeriksaan, Kuasa Hukum Korban Sebut Itu Kesalahpahaman

Desember 2024, sebanyak 20 santriwati pondok pesantren di Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan, menjadi korban pelecehan seksual oleh pengajarnya, AH (40).

Teranyar, Agustus 2025, Polres Tapanuli Selatan (Tapsel) menetapkan ketua yayasan salah satu pondok pesantren di Tapsel berinisial MN (64) sebagai tersangka pemerkosaan terhadap santriwati berusia 17 tahun yang tak lain saudaranya sendiri.

Wakil Ketua Komisi X DPR RI, Lalu Hadrian, sebelumnya telah mengingatkan bahwa kekerasan di sekolah dan pesantren bukan hal sepele. Ia mendorong pemerintah dan DPR segera menyusun kurikulum anti kekerasan seksual di lingkungan pendidikan.