“Fakta di lapangan menunjukkan sebaliknya, tempat yang seharusnya menjadi rumah kedua bagi anak-anak kini berubah menjadi arena teror, tempat di mana kepercayaan dilukai dan harapan dikhianati,” ujar Lalu, Selasa (22/7/2025).

Sementara itu, Komisioner Komnas Perempuan, Daden Sukendar, menegaskan bahwa kekerasan seksual di pesantren merupakan fenomena nyata, bukan pembesaran media.

Ia menilai pernyataan Menag justru bisa memperkuat budaya diam dan menormalisasi kekerasan terhadap santri.

“Perlu upaya konkret terutama dari Kementerian Agama untuk mencegah dan menangani kasus-kasus kekerasan seksual di lingkungan pendidikan, terutama di pesantren. Komnas Perempuan selama ini mencatat kekerasan berbasis gender dan seksual di lingkungan pendidikan merupakan fenomena nyata, bukan sekadar rumor atau hiperbola media,” kata Daden dikutip dari KBR, Sabtu (18/10/2025).

Baca juga:  Injak Usia 20 Tahun, The Indonesian Institute Akan Terus Memberikan Kontribusi Yang Terbaik Untuk Bangsa

Komnas Perempuan mencatat, sepanjang 2015–2021, kekerasan berbasis gender di pesantren mencapai 16 persen, urutan kedua setelah perguruan tinggi. Dari jumlah itu, 87,91 persen adalah kekerasan seksual, mulai dari pelecehan hingga perkosaan.

“Pelakunya seringkali adalah guru, dosen, atau ustaz yang memiliki otoritas atau hubungan kepercayaan dengan korban,” ujar Daden.

Komnas juga mencatat bahwa pelaporan kekerasan di pesantren tidak menurun secara signifikan dan tetap menempati posisi tinggi dalam laporan tahunan CATAHU.
Beberapa kasus besar seperti MSAT/Bechi di Jombang dan HW di Bandung menunjukkan pola kekerasan yang berulang dan terstruktur.

Sementara itu, Koordinator Nasional JPPI, Ubaid Matraji, menilai meningkatnya kasus kekerasan seksual di lembaga pendidikan disebabkan oleh lemahnya peran Satuan Tugas (Satgas) Pencegahan Kekerasan atau Tim Pencegahan dan Penanggulangan Kekerasan (TPPK).

Baca juga:  Pesan Hangat Persatuan dan Reforma Agraria dari Jambi Menggema di Kongres GMNI ke-22 GMNI Bandung

“Satgas-satgas pencegahan kekerasan itu tidak punya peran cukup kuat. Mereka belum bekerja secara optimal, bahkan dalam beberapa kasus sekolah-sekolah tidak ada TPPK,” ujar Ubaid, Rabu (15/10/2025).

Ia menegaskan, alih-alih menuding media, pemerintah seharusnya memperkuat pemahaman tentang keadilan gender dan perlindungan anak di lembaga pendidikan.

“Karena itu menjadi sangat penting di level lembaga pendidikan, pemerintah daerah, dan juga pemerintah pusat menguatkan perspektif gender dan perlindungan anak,” katanya.

Kemudian, Daden pun menilai peran media justru sangat penting dalam mengungkap kekerasan yang selama ini tersembunyi di balik tembok pesantren.

“Peran media sangat penting dalam mengungkap kekerasan berbasis gender yang selama ini tersembunyi, termasuk di lembaga pendidikan berbasis agama. Pemberitaan bukan pembesaran, melainkan bentuk akuntabilitas sosial,” katanya.

Baca juga:  Edi Purwanto Soroti Program Kementerian PKP Terkait Pembangunan 3 Juta Rumah dalam Setahun

Menurutnya, tanpa kerja media, publik tidak akan tahu sejauh mana kekerasan seksual terjadi di lembaga pendidikan keagamaan.

“Dengan media yang sensitif terhadap korban, kita bisa mulai bicara soal keadilan dan pemulihan. Komnas menekankan, pemberitaan yang sensitif korban membantu mengangkat suara korban, menekan lembaga pendidikan memperbaiki tata kelola, dan mengubah opini publik dari ‘aib lembaga’ menjadi ‘tanggung jawab bersama’,” pungkas Daden. (AAS)