Dugaan manipulasi laporan produksi, penghindaran pajak, serta praktik setoran ilegal menjadi pola yang berulang. Kajian ekonomi energi memperkirakan potensi kerugian negara dari aktivitas tambang ilegal di Batanghari, termasuk Koto Boyo, mencapai puluhan hingga ratusan miliar rupiah per tahun.
Provinsi Jambi sendiri memiliki cadangan batubara lebih dari 2,13 miliar ton, dengan produksi tahunan sekitar 10 juta ton. Dari jumlah itu, Batanghari menyumbang sekitar 2,7 juta ton per tahun. Namun dari ratusan perusahaan yang tercatat, sekitar separuh belum berstatus “clear and clean” menurut laporan KPK. Artinya, separuh aktivitas tambang di Jambi berpotensi bermasalah secara hukum maupun administrasi.
Dalam konteks ini, Kejaksaan Agung (Kejagung) memiliki alasan kuat untuk turun tangan. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba), setiap orang yang melakukan penambangan tanpa izin dapat dipidana hingga lima tahun penjara dan denda Rp100 miliar. Jika ada penyalahgunaan wewenang oleh pejabat publik, maka bisa dijerat pula dengan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dan Undang-Undang tentang Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) bila ditemukan aliran dana ilegal.
Langkah Kejagung diharapkan tidak berhenti pada penindakan pelaku di lapangan. Penegakan hukum harus menyasar dalang di balik permainan izin, manipulasi laporan produksi, dan perlindungan dari oknum aparat atau pejabat daerah. Tanpa tindakan struktural, mafia tambang akan terus berganti wajah, sementara kerusakan lingkungan dan penderitaan warga tetap menjadi warisan.
Koto Boyo kini menjadi cermin: ketika negara membiarkan tambang ilegal tumbuh, yang terjadi bukan sekadar pelanggaran hukum, tetapi pengkhianatan terhadap amanat konstitusi untuk mengelola sumber daya alam sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat.
Kejagung tak boleh hanya menonton. Lubang-lubang tambang di Koto Boyo bukan sekadar luka di tanah, tapi juga simbol ketidakadilan. Di sinilah negara diuji — apakah ia masih punya keberanian menegakkan hukum di hadapan kekuatan modal gelap.
Karena jika Koto Boyo dibiarkan, maka bukan hanya batubaranya yang hilang, tapi juga wibawa hukum itu sendiri.
Tinggalkan Balasan