Oleh : Dr. Noviardi Ferzi
TANYAFAKTA.CO – Penutupan sementara pembangunan stokfile dan Terminal Untuk Kepentingan Sendiri (TUKS) PT SAS RMKE Grup di Aur Kenali, Kecamatan Telanaipura, Jambi, harus dibaca sebagai kemenangan awal masyarakat.
Namun, keberhasilan ini baru sebatas jeda, bukan akhir. Masyarakat Aur Kenali perlu memanfaatkan momentum ini untuk memperkuat posisi mereka, mengunci kepastian hukum, dan memastikan proyek yang mengancam ruang hidup tersebut tidak pernah lagi dilanjutkan.
Dasar hukum perjuangan warga sebenarnya sangat kokoh. Peraturan Daerah Kota Jambi Nomor 5 Tahun 2024 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) 2024–2044 secara jelas menetapkan Aur Kenali sebagai kawasan permukiman, bukan kawasan industri.
Dengan demikian, aktivitas industri ekstraktif seperti stokfile batubara dan TUKS adalah bentuk pelanggaran tata ruang. Fakta ini diperkuat dengan sikap Pemerintah Provinsi Jambi yang menghentikan sementara pembangunan untuk menunggu kajian mendalam, serta pernyataan Pemerintah Kota Jambi yang menegaskan kepentingan masyarakat menjadi prioritas (Antara Jambi, 2025).
Selain tata ruang, warga memiliki landasan konstitusional. Pasal 28H ayat (1) UUD 1945 menegaskan bahwa setiap orang berhak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat. Ketentuan ini diperkuat oleh Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yang mewajibkan pemerintah dan masyarakat menjaga kelestarian lingkungan serta menjamin hak warga atas ruang hidup yang layak.
Artinya, penolakan masyarakat bukan sekadar ekspresi emosional, melainkan bagian dari upaya menegakkan hak konstitusional.
Di lapangan, dampak dari proyek PT SAS sudah nyata. Penimbunan rawa di lokasi pembangunan berpotensi meningkatkan risiko banjir, sementara aktivitas alat berat dan lalu lintas batu bara memicu kebisingan, getaran, serta polusi debu yang membahayakan kesehatan warga (Mongabay, 2025; Berita Nasional, 2025).
Warga bersama WALHI menilai proyek ini ancaman serius bagi ruang hidup, sehingga aksi protes, blokade jalan nasional, hingga pembentukan Barisan Perjuangan Rakyat (BPR) muncul sebagai bentuk perlawanan sosial (Liputan6, 2025). Fakta ini menunjukkan bahwa masyarakat tidak hanya khawatir, tetapi sudah mengalami kerugian riil.
Oleh karena itu, ada beberapa langkah strategis yang harus ditempuh masyarakat Aur Kenali pasca penutupan sementara ini.
Pertama, memperkuat basis hukum dengan mendesak pemerintah menegakkan RTRW dan menolak perubahan peruntukan kawasan yang bisa membuka ruang bagi korporasi.
Kedua, meluaskan solidaritas sosial dengan menggandeng akademisi, organisasi masyarakat sipil, dan media agar isu ini mendapat sorotan nasional.


Tinggalkan Balasan