Meskipun polisi bertanggung jawab dalam tahap penyelidikan dan penyidikan, keputusan akhir mengenai apakah suatu perkara akan diajukan ke pengadilan ada di tangan jaksa.
Namun, masalah muncul ketika terdapat perbedaan pandangan antara penyidik dan jaksa mengenai kelengkapan bukti atau pasal yang digunakan dalam perkara.
Dalam praktiknya, jaksa sering mengembalikan berkas perkara kepada penyidik dengan petunjuk (P19) karena dianggap belum memenuhi syarat formil atau materiil untuk dilimpahkan ke pengadilan. Jika pengembalian ini terus terjadi, hal ini bisa menyebabkan ketidakpastian hukum dan memperlambat proses peradilan.
Farisi menyatakan bahwa penguatan asas Dominus Litis dalam RUU KUHAP yang memberikan peran lebih besar kepada jaksa dalam mengendalikan perkara sejak tahap penyidikan berpotensi menimbulkan tumpang tindih kewenangan dengan kepolisian.
“Namun, di sisi lain, hal ini juga bertujuan untuk meningkatkan efektivitas penegakan hukum dengan memperjelas batasan antara penyidikan dan penuntutan,” katanya.
Potensi Tumpang Tindih Kewenangan
Farisi juga mengingatkan, jika jaksa mendapatkan peran dominan dalam pengendalian perkara sejak awal, hal ini dapat menyebabkan kebingungan dalam pembagian tugas antara polisi dan jaksa, terutama terkait siapa yang berhak menentukan langkah penyidikan tertentu.
Jika jaksa terlalu banyak campur tangan dalam penyidikan, penyidik bisa merasa independensinya terganggu karena harus selalu mengikuti arahan jaksa.
Meskipun demikian, Farisi percaya bahwa potensi tumpang tindih ini bisa diatasi jika ada mekanisme yang jelas dalam pembagian tugas antara Kejaksaan dan Kepolisian. (*)
Tinggalkan Balasan