Contoh lain adalah proyek pembangunan Taman Hutan Kota Jambi yang menelan anggaran miliaran, padahal tidak memiliki rencana pelibatan komunitas lingkungan secara nyata, dan kini menjadi ruang publik setengah mati, tanpa aktivitas yang berdampak luas.
Yang lebih menyakitkan, proyek-proyek infrastruktur besar ini seringkali diluncurkan menjelang tahun politik, dijadikan alat jualan elektoral. Kepala daerah yang sedang bersiap naik level, atau para calon yang ingin maju Pilkada, akan muncul dalam baliho besar dengan narasi: “Pembangunan Jalan X, Wujud Komitmen Kami.”
Padahal dalam banyak kasus, proyek itu adalah lanjutan dari dana pusat atau program lintas tahun yang hanya dimanfaatkan untuk pencitraan. Bahkan ada yang menempelkan foto di proyek yang masih dalam tahap perencanaan, tanpa kontribusi kebijakan nyata dari sang politisi.
Menurut data BPS Provinsi Jambi, per Maret 2024, tingkat kemiskinan di Jambi masih berada di angka 6,82%, bahkan naik tipis dibanding tahun sebelumnya. Ini membuktikan bahwa pembangunan infrastruktur besar tidak serta-merta menyelesaikan masalah struktural. Pendidikan rendah, lapangan kerja terbatas, dan harga pangan tidak stabil adalah masalah yang terus diabaikan karena tidak “instagramable” dibanding peresmian jalan atau jembatan.
Jika kebijakan infrastruktur di Provinsi Jambi terus dibangun hanya untuk menyerap anggaran, mendukung politisi, dan memoles citra kekuasaan, maka ini bukan pembangunan ini adalah pemborosan yang dilegalkan oleh sistem. Rakyat Jambi tidak butuh taman yang mahal, jalan yang berlapis-lapis di kawasan elit, atau gedung yang kosong. Rakyat butuh akses pendidikan yang setara, pelayanan kesehatan yang layak, dan harga kebutuhan pokok yang stabil.
Infrastruktur sejatinya adalah alat untuk menciptakan keadilan spasial dan sosial. Bukan alat untuk menipu rakyat bahwa pembangunan sedang berjalan, padahal ketimpangan semakin tajam. Jika pemerintah Provinsi Jambi ingin benar-benar disebut “berpihak pada rakyat”, maka ubah prioritas: dari membangun proyek, menjadi membangun martabat.
Oleh: Muhammad Ravi | Mahasiswa Ilmu Pemerintahan Universitas Jambi
Tinggalkan Balasan